Jum’at, 11 Februari 2011
Jakarta, Kompas – Naiknya harga kedelai yang semakin tidak terkendali membuat perajin tahu tempe kelimpungan. Mereka mendesak pemerintah segera menstabilkan harga. Jika pemerintah tidak bertindak, perajin tahu tempe bakal bangkrut.
Saat ini perajin masih bisa menyiasati dengan mengurangi ukuran dan menaikkan harga jual. Namun, kalau harga kedelai terus naik, harga tahu tempe tidak akan terbeli oleh masyarakat. Kalau sudah begitu, produksi kami pasti berkurang dan lama-kelamaan bisa bangkrut, kata Ketua II Induk Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Inkopti) Sutaryo di Jakarta, Kamis (10/2).
Tahu tempe sudah menjadi makanan masyarakat, mulai dari kalangan atas hingga bawah. Kedelai seharusnya juga menjadi komoditas nomor dua setelah beras. Sayangnya, pemerintah lebih memprioritaskan gula dan minyak goreng.
Kebutuhan kedelai per tahun berkisar 2,2 juta ton dan 1,7 juta ton di antaranya merupakan kedelai impor. Total perajin tahu tempe di Indonesia 115.000 perajin dan sekitar 5.000 perajin di antaranya berada di Jakarta.
Harga kedelai impor naik dari Rp 5.000 per kilogram menjadi Rp 6.500 per kg. Jika pemerintah tidak menawarkan solusi apa-apa, perajin siap demo ke istana, ujarnya.
Sutaryo menambahkan, pemerintah seharusnya berpikir jangka panjang untuk swasembada kedelai. Tanpa swasembada, Indonesia akan selalu bergantung pada kedelai impor. Sayangnya, produksi kedelai tahun lalu justru merosot sekitar 700.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya akibat perubahan iklim.
Tidak akan efektif
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Teddy Saleh mengatakan, pemerintah saat ini sedang mengkaji langkah penurunan bea masuk impor kedelai.
Kami sedang mengkaji kemungkinan menurunkan atau bahkan membebaskan bea masuk impor kedelai. Tujuannya untuk membantu perajin yang memanfaatkan bahan dasar kedelai, ujarnya.
Bagi Inkopti, pembebasan bea masuk impor tidak akan efektif menekan harga. Hal itu pernah dilakukan tahun 2008. Inkopti berharap agar Bulog diperbolehkan menjual komoditas kedelai dengan menyerap kedelai lokal ataupun kedelai impor.
Indonesia dan China mencari kedelai dari Amerika Latin. Namun, Indonesia yang membeli dalam jumlah jauh lebih kecil dikhawatirkan tidak akan memperoleh kedelai karena penjual akan mendahulukan pembeli terbesar, yakni China.
Atas dasar itu, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menyarankan solusi jangka menengah adalah dengan membudidayakan kedelai dengan bibit transgenik.
Jika ini bisa dikembangkan, produksi kedelai di dalam negeri bisa naik 30-40 persen. Opsi ini perlu dipikirkan karena harga kedelai terus meningkat. (ENY/OIN/EKI/ARA/HEI/ ACI/ETA/MHF/MKN/ELD/ HEI/SEM/WER/WIE)