Siaran Pers JMMPK
Menyikapi Tindakan Represif Pembongkaran Tenda Perjuangan Kendeng
Sudah lima hari tenda perjuangan masyarakat Pegunungan Kendeng berdiri di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah guna menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung Nomot 99 PK/TUN/2016. Putusan ini berisi keharusan untuk Gubernur Jawa Tengah mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang. Namun demikian, Gubernur Jawa Tengah hingga saat ini masih mencari celah untuk membangkang terhadap Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Aksi yang selama ini berlangsung tertib, sebagaimana aksi-aksi sebelumnya, pada hari ini (23/12) harus menghadapi perlakuan represif dari aparat negara. Pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, massa aksi dihalangi untuk mendirikan tenda oleh Polrestabes Kota Semarang dengan alasan mengganggu pedestrian dan kumuh. Alasan ini tentu merupakan alasan yang dicari-cari untuk membenarkan tindakan pelarangan penyampaian pendapat di muka umum. Namun, lantaran aksi ini diadakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, akhirnya pihak Polrestabes membiarkan pendirian tenda.
Kemudian, sekitar pukul 11.20 WIB, massa aksi yang menolak pabrik semen didatangi oleh Satpol PP Kota Semarang dan diminta untuk membongkar tenda yang telah didirikan. Tanpa menyebutkan dasar hukum sebelum melakukan pembongkaran tenda, Satpol PP Kota Semarang kemudian membongkar tenda yang digunakan warga untuk berteduh, beserta properti aksi seperti bendera, poster, dan lain-lain. Semuanya disita oleh Satpol PP.
Beberapa personel Satpol PP Kota Semarang pun saat ditanya mengenai dasar hukum pembongkaran tenda, mengaku tidak tahu dan tampak bingung. Akhirnya, paska pembongkaran tenda, Mudzakir, Komandan Regu Satpol PP yang bertugas membongkar tenda, menyatakan bahwa dasar pembongkaran tenda adalah Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Ditanya lebih jauh mengenai pasal yang dilanggar oleh massa aksi, Satpol PP Kota Semarang tidak dapat menjelaskan lebih lanjut, dan memasuki kantor Gubernur tanpa memeberitahu dasar hukum pembongkaran tenda.
Memperhatikan fakta yang terjadi hari ini, tampak upaya-upaya di luar hukum yang dilakukan oleh Polrestabes Kota Semarang maupun Satpol PP Kota Semarang untuk menghalang-halangi penyampaian pendapat di muka umum. Bahkan, Satpol PP Kota Semarang sampai melakukan tindakan represif, menghalang-halangi penyampaian pendapat di muka umum dengan menggunakan landasan Peraturan Daerah yang ditujukan untuk Pedagang Kaki Lima.
Polrestabes Kota Semarang dan Satpol PP Kota Semarang telah menggunakan pendekatan kekuasaan dalam menjalankan tugas. Padahal jelas, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dalam upaya penolakan pabrik semen guna pelestarian lingkungan tidak hanya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, melainkan ketidakpatuhan hukum juga dilakukan oleh Polrestabes Kota Semarang dan Satpol PP Kota Semarang.
Yang tampak dari kejadian hari ini adalah kekuasaan digunakan untuk meredam suara-suara yang tidak sejalan dengan penguasa. Hal ini merupakan satu peringatan bahaya terhadap proses demokrasi dan perlindungan terhadap HAM. Di sisi lain, hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara negara belum cukup bijak dan cerdas dalam hidup bernegara.
Semarang, 23 Desember 2016
Nara Hubung:
Joko Prianto (0823 1420 3339)