SIARAN PERS Untuk disiarkan segera
WTO Menggugat, Omnibus Law Menjawab:
Kedaulatan Pangan Nasional dan 27 Juta Petani Terancam
Jakarta, 12 Maret 2020 – Undang-Undang Omnibus “melucuti” empat undang-undang penting sektor pangan yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura sebagai jawaban atas Putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akibat kekalahan Indonesia dari gugatan Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brasil terkait dengan kebijakan impor pangan. Amerika Serikat, Selandia Baru dan Brasil Peraturan penting di Indonesia masih berlaku pada saat panen raya dan saat kebutuhan pangan dalam negeri masih terpenuhi oleh produksi dan penyediaan pangan nasional.Bagi negara-negara hal ini meminta persetujuan dengan WTO yang meminta Indonesia lebih lanjut meminta izin. Melalui panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO negara-negara yang meminta agar Indonesia dalam frasa “dalam negeri” pada artikel yang dilanjutkan di empat bahan UU tersebut. Sementara frasa tersebut mendukung dan membantu kepentingan nasional yang tak lain merupakan mandat konstitusi.
Dalam konferensi pers bersama Bina Desa Sadajiwa, Lembaga Keadilan Global (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Fian Indonesia, Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan (JKSP), Jaringan Perempuan Pedesaan Nusantara (JPP Nusantara) ), Kamis (12/3), Ketua Pengurus Bina Desa, Dwi Astuti mengatakan “Pembangunan pertanian-pangan yang bertumpu pada pembangunan pertanian asing dan penting akan memperburuk dengan makanan yang pada umumnya diderita oleh perempuan dan anak dihilangkan, keselamatan perempuan serta pengalaman yang beragam, baik perempuan maupun perempuan dalam pelengkap hayati dan kekayaan alam, juga ikut dilucuti “
Revisi atas UU yang dikeluarkan dalam UU Omnibus (RUU Cipta Kerja) terbukti akan melonggarkan aturan impor pangan. Dalam UU Pangan, pada pasal 1 nomor 7 tentang resolusi Mengajukan Pangan, izin menyetujui perbedaan persyaratan dan ketentuan penting, maka dapat dilakukan terkait dengan dana hasil Produksi Dalam Negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi. Sementara dalam Hukum Omnibus syarat dan ketentuan tersebut dihilangkan. Terkait kedudukan pangan hasil penting menjadi sederajat dengan pangan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Selain itu, pasal 14, 15, 36, 39 dan seterusnya, yang sepenuhnya menganulir semangat perlindungan dan pengutamaan produksi dalam negeri. RUU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah pasal dalam UU Perlintan, Bahkan membaca pasal 101 tentang pertahanan menuntut bagi usaha yang mengeluarkan produk pertanian pada saat kebutuhan konsumsi dalam negeri tercukupi. Hal ini berdampak pada kejatuhan harga di dalam negeri yang melepaskan kelesuan ekonomi. Pelucutan pemeliharaan pangan nasional juga meniadakan pasal 36 di UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hewani untuk masyarakat. Pasal 36A yang menyatakan persyaratan dan ketentuan ekspor ternak harus berdasarkan ketercukupan dalam negeri juga diganti. Sementara pasal 36Berbolehkan dengan perubahan signifikan yang dikeluarkan dalam UU Pangan, yaitu tak ada persetujuan untuk kondisi Pelucutan pemeliharaan pangan nasional juga meniadakan pasal 36 di UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hewani untuk masyarakat. Pasal 36A yang menyatakan persyaratan dan ketentuan ekspor ternak harus berdasarkan ketercukupan dalam negeri juga diganti. Sementara pasal 36Berbolehkan dengan perubahan signifikan yang dikeluarkan dalam UU Pangan, yaitu tak ada persetujuan untuk kondisi Pelucutan pemeliharaan pangan nasional juga meniadakan pasal 36 di UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hewani untuk masyarakat. Pasal 36A yang menyatakan persyaratan dan ketentuan ekspor ternak harus berdasarkan ketercukupan dalam negeri juga diganti. Sementara pasal 36Berbolehkan dengan perubahan signifikan yang dikeluarkan dalam UU Pangan, yaitu tak ada persetujuan untuk kondisi < /span>
ketercukupan produksi dan pasokan Ternak dan Produk Hewan di dalam negeri bagi aktivitas impor.
Selain itu, UU Hortikultura juga diubah. Pasal 15 tidak memprioritaskan pemanfaatan sumber daya manusia dari dalam negeri. Tidak ada tafsir lain selain bahwa tenaga kerja sektor hortikultura yang berasal dari dalam negeri setara dengan luar negeri. Hal ini diperparah dengan perubahan pasal 100 tentang penanaman modal asing yang sudah tidak lagi dibatasi, dari sebelumnya maksimal 30%. Hal ini membuktikan bahwa Omnibus Law telah mengadopsi rezim pasar bebas baik itu ketetapan yang dibuat oleh WTO maupun dalam perjanjian perdagangan bebas. Rezim pasar bebas menuntut agar liberalisasi pangan di Indonesia dibuka seluas-luasnya dan diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
Menurut Presiden FIAN Indonesia, Iwan Nurdin, “Pangan adalah hak asasi yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban melindungi ini berarti negara harus mengeluarkan peraturan atau instrumen hukum berkaitan pemenuhan hak atas pangan warganya yang berwawasan pada kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya menguntungkan individu, investor atau importir, serta melaksanakannya dengan konsisten. Omnibuslaw menghapus ini semua. Negara abai terhadap penemenuhan hak atas pangan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar”.
Seiring impor pangan yang semakin dibuka lebar, ketentuan mengenai keamanan pangan impor juga akan dihapuskan. Pasal 87 RUU Cipta Kerja akan merevisi Pasal 87 UU Pangan, menghapus ketentuan pangan harus lulus uji laboratorium sebelum diedarkan. Akibatnya, pangan yang akan dikonsumsi masyarakat semakin tidak terjamin keamanan dan mutunya. Upaya pelonggaran impor akan menjadi ancaman serius bagi kedaulatan pangan nasional serta dapat meminggirkan para produsen lokal, terutama para petani kecil karena tidak ada kepastian jaminan perlindungan Negara atas petani. Menurut data sensus pertanian tahun 2018 (BPS), total jumlah rumah tangga petani di Indonesia adalah 27, 682, 117. Berdasarkan golongan luas lahan yang dikuasai (dalam hektar), jumlah petani yang menguasai 0,5 Ha adalah 16,257430. Selanjutnya yang menguasai 0.50-1 Ha adalah 4,498.332; yang menguasai 1-2 Ha adalah 3,905,819; yang menguasai 2-3 Ha adalah 1,627,602; yang menguasai 3-4 Ha adalah 607,908; yang menguasai 4-5 Ha adalah 323,695; yang menguasai 5-10 Ha adalah 374,272 dan yang menguasa lebih dari 10 Ha adalah 87,059. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional (khususnya beras), 96 persen disupply petani kecil dengan penguasaan lahan > 0,5 – 1 Ha. Menurut Koordinator Departemen Penataan Produksi API, M. Rifai, peran petani sangat penting dalam menjaga keberlanjutan pangan nasional dan menyediakan bahan baku industri pengolahan serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat pedesaan dan pemuda. Petani menginvestasikan nilai yang besar bagi pangan, yakni 485,85 trilyun/tahun untuk menanam padi; 98.99 trilyun untuk tanaman produk hortikultura; dan 50 trilyun untuk tanaman jagung. Belum lagi bagi produk-produk perkebunan.
Untuk itu perlu diluruskan sesat pikir yang menyatakan investasi harus berarti modal asing yang masuk ke Indonesia bagi sektor pertanian. Para petani kecil yang sebagian besar tinggal di pedesaan dengan segala kekayaan budaya dan pengetahuan yang dimilikinya, hingga kini terus berusaha bangkit memutus ketergantungan dalam rantai produksi, membangun kesetaraan dan kerjasama seimbang antara laki-laki dan perempuan dengan keberpihakan terhadap perlindungan ekologis – ekosistem pertanian adalah sebenar-benar Investor pangan. “Adanya Omnibus Law akan sangat mengancam kedaulatan petani dan pangan di Indonesia. Kedaulatan
pangan sejatinya menempatkan petani sebagai “subyek” pembangunan pertanian dan pangan. Omnibus Law justru mengukuhkan petani sebagai obyek semata, sementara pemilik modal menjadi tuannya. Jika undang-undang ini disahkan maka rezim ini sudah mengingkari cita-cita proklamasi, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk petani didalamnya”, demikian pernyataan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah.
Bila Pemerintah dan DPR memaksakan Omnibus Law yang mengatur kebijakan pelonggaran impor pangan diteruskan, maka hal tersebut akan berdampak serius bagi inflasi pangan dan nilai tukar rupiah. Tercatat, bahwa Negara importir pangan akan sulit mengendalikan inflasi dan nilai tukar rupiah (ADB, 2018). Sebaliknya, negara eksportir lebih mampu mengendalikan inflasi dan nilai tukar mata uangnya. Sehingga, solusi membuka keran bagi kebijakan impor pangan dalam Omnibus Law menjadi sangat berbahaya baik bagi keberlanjutan petani dan visi pangan nasional, maupun bagi nilai tukar Rupiah di masa mendatang. Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Rahmat Maulana Sidik, menambahkan, “Hukum Omnibus yang jelas mengatur rezim pasar bebas yang ditetapkan oleh WTO. Terbukti dalam RUU Cipta Karya dibuka liberalisasi penting pangan luas-luasnya diserahkannya pada pertemuan pasar. Tentu ini membawa serius bagi keberlanjutan petani dan makanan nasional. Sementara, Negara tidak peduli dengan keberlanjutan nasib petani dan pangan nasional. Tidak hanya itu, dibuka keran yang penting membawa makanan yang lebih baik pada tingkat makanan dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil. Negara importir makanan akan sulit bergerak dan nilai tukar rupiahnya ”.