Jumat, 14 Mei 2010 | 17:05 WIB
BANDUNG, KOMPAS – Dari total kawasan hutan di Kabupaten Bandung Barat (KBB) seluas 40.739 hektar, 20.020 ha di antaranya tergolong lahan kritis. Luas lahan kritis itu bertambah dibandingkan dengan data Kementerian Kehutanan pada 2006 yang mencatat lahan kritis di kabupaten ini 15.000 ha.
Kepala Seksi Kehutanan dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan KBB Supriyanto, Kamis (13/5), mengatakan, pertambahan luas lahan kritis itu masih akan dicek di lapangan. “Sebab, penghitungan luas lahan kritis menggunakan gambar dari citra satelit sering kali keliru. Sawah yang ditandai dengan warna kuning sama dengan warna bagi lahan kritis sehingga ada kemungkinan kekeliruan,” katanya seraya mengatakan bahwa kekeliruan mengartikan hasil citra satelit seperti itu pernah terjadi.
Supriyanto mengatakan, hingga 2009 luas lahan kritis di wilayahnya yang telah dicek adalah 10.026 ha. Ia yakin data itu valid. Artinya, jumlah lahan kritis menurun dibandingkan dengan hasil pencatatan 2006.
Lahan kritis banyak ditemui di Daerah Aliran Sungai Citarum yang merupakan salah satu DAS strategis di Indonesia. Penebangan hutan sembarangan menyebabkan semakin parahnya kerusakan lingkungan di KBB.
Agroforestri
Untuk menekan laju kerusakan lahan, lanjut Supriyanto, pihaknya menerapkan konsep pemberdayaan hutan masyarakat (agroforestri). Artinya, lahan-lahan kritis yang ditemukan diupayakan dihijaukan kembali dengan penanaman tanaman berusia pendek di sela-sela tegakan. Masyarakat juga diajak berperan serta menjaga tegakan dengan membebaskan mereka memilih jenis tegakan pohon yang diinginkan.
“Biasanya tegakan pohon yang disukai adalah yang berumur pendek sehingga lebih cepat ditebang sekaligus cepat ditanam kembali. Pohon-pohon itu, misalnya, albasia, suren, dan jati putih,” tuturnya. Ia mencontohkan albasia yang bisa ditebang setelah berusia lima tahun.
Untuk tanaman semusim di sela-sela tegakan, masyarakat bisa menanami lahan dengan cabai. Bahkan dalam waktu dekat ini agroforestri juga dikembangkan dengan melibatkan rumpun pertanian lain, seperti perikanan dan peternakan. “Kami berupaya mengembangkan lebah madu dan jamur kayu,” ujar Ade Burhadi, penyuluh kehutanan.
Saat ini ada 418 keluarga di delapan kecamatan di KBB yang mengembangkan budidaya madu hutan. Jumlah ini belum termasuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang menjalin kemitraan dengan Perum Perhutani terkait pengelolaan hutan.
Ade mengatakan, agroforestri cukup mendapatkan tanggapan dari masyarakat. Sejumlah perusahaan swasta bahkan mulai berminat menjalin kerja sama dengan masyarakat untuk menghasilkan produk hutan nonkayu. Beberapa waktu lalu pabrik susu Ultrajaya tertarik menanam jambu batu di wilayah Cipatat untuk variasi rasa susu baru. “Sayangnya, program itu belum berhasil karena jambu batu tidak cocok ditanam di wilayah ini dan (terbukti) hasil produk jambunya kurang air,” katanya.
Terkait dengan program agroforestri, 25 ha lahan di wilayah Goa Pawon, Kecamatan Cipatat, sedang dijajaki untuk ditanami pohon. Kawasan kapur itu juga termasuk lahan kritis. (REK)