Apa yang dihasilkan dari KTT APEC di Vladivostok, Rusia bukanlah merupakan barang baru. Kekhawatiran bahwa ancaman rawan pangan melalui mekanisme liberalisasi perdagangan dan menciptakan alur lalu lintas yang baik lebih didorong oleh melemahnya kekuatan ekonomi Amerika dan Eropa, yang akan meningkatkan resiko destabilisasi ekonomi dunia.
Liberalisasi tetap diangkat sebagai isu utama mengingat terjadi kecenderungan proteksi dalam negeri yang berlebihan. Dalam situasi ekonomi yang sulit, salah satu pilihan rasional adalah melakukan proteksi atas produk dalam negeri dan memberikan subsidi agar mampu bersaing dan memperketat arus import.
Kenyataannya, Indonesia justru semakin meliberasi sector-sektor ekonominya, tercatat Indonesia menyetujui 54 kebijakan yang memungkinkan arus barang dan jasa dari luar semakin murah.
Gagalnya Yunani membangun kesepakatan dengan IMF dan Bank Eropa menambah runyam situasi ekonomi dunia, dalam situasi ini, asia menjadi andalan dunia untuk menopang struktur baru ekonomi dunia.
Persoalan yang dihadapi internasional saat ini tidak hanya sekedar krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika. Peperangan di Timur tengah, Bencana Alam yang terus menghancurkan ladang-ladang pertanian dan kelaparan di Afrika.
Ancaman tersebut akan menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan dunia. Masalahnya, Indonesia terjebak dalam situasi politik yang ambigu dan chaos. Kebijakan-kebijakan sector pertanian dan pertambangan sangat liberal dan sangat merusak daya saing petani. Padahal, hasil KTT APEC tersebut telah memberikan ruang yang sangat luas apabila kekuatan ekonomi dalam negeri bisa diperkuat.
Selama ini Indonesia masih terjebak dalam poros Global Supply Chain dan kemudian melakukan eksplorasi berlebihan terhadap sumber daya alamnya, padahal beberapa produk pertanian kita memiliki kualitas dan kuantitas yang mampu memimpin perdagangan dunia.
Di sector pertanian, pemerintah tetap saja melakukan kebijakan import. Import terbaru adalah kebijakan untuk mengimpor gula mentah sebanyak 240 ribu ton, yang memicu melemahnya pembelian gula dalam negeri.
Import bahan pangan tersebut sangat tidak masuk akal, selain kemungkinan melonjaknya harga yang akan menggerus devisa, ketergantungan terhadap import akan menyebabkan Indonesia terjebak dalam situasi kerawanan pangan internasional.
Karena itu sudah saatnya pemerintah merubah cara pandang penyediaan pangan. Pelaksanaan reforma agrarian menjadi solusi yang sangat pantas dijalankan. Melalui redistribusi lahan, agar terjadi penyerapan tenaga kerja sekaligus memastikan produksi pertanian indonesia terjaga.