Kamis, 31 Maret 2011
Jeruk atau citrus yang berkembang di Soe, Nusa Tenggara Timur, lebih dikenal masyarakat setempat dengan sebutan jeruk keprok soe. Rasa jeruk manis keasaman. Jeruk soe sampai tahun 2009 masih beredar luas di masyarakat NTT, tetapi dalam tiga tahun terakhir semakin sulit ditemukan. Perubahan iklim dan hama jeruk sebagai penyebab.
Jeruk keprok soe hanya bisa bertahan hidup dan berbuah selama kemarau panjang dengan suhu 28-31 derajat celsius. Namun, sejak tahun 2010 terjadi perubahan iklim cukup signifikan. Hujan sering terjadi sepanjang tahun meski hanya mendung atau rintik.
Jeruk keprok soe berada di kawasan Gunung Mutis dengan ketinggian 2.000 meter dpl, di Kecamatan Molo Utara dan Molo Selatan. Jeruk soe memiliki ciri-ciri, antara lain, kulit tipis merah, mudah dikupas, rasa manis keasaman, berbentuk bulat sedang, ketinggian batang 2-4 meter, dan usia berbuah 2-3 tahun. Orang lebih suka menyebut jeruk keprok soe atau jeruk soe karena hanya tumbuh, berkembang, dan berbuah dalam jumlah besar di wilayah itu.
Ketua Kelompok Tani Binoni, Desa Oebubuk, Kecamatan Molo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Yulius Sanam, Minggu (6/3), mengatakan, Kelompok Tani Binoni yang terdiri dari 20 anggota mengelola areal perkebunan jeruk keprok seluas 10 hektar.
Dulu, areal 10 hektar itu hanya kami tanami jeruk, tetapi sejak tahun 2009 akhir, sebagian jeruk kami tebang untuk ditanami umbi-umbian, kacang, dan sayur. Hama jeruk yang disebut diploidya atau hama kulit merusak daun dan batang tanaman. Sebagian besar tanaman jeruk mati setelah dihinggapi hama tersebut, kata Yulius.
Hama kulit ini setiap tahun menyerang tanaman jeruk sejak tahun 1998. Karena tidak tuntas ditangani, hama ini memusnahkan sebagian besar tanaman jeruk di Molo Utara dan Molo Selatan, sentra produksi jeruk. Luas tanaman jeruk di Kecamatan Molo Selatan mencapai 150 hektar, ini pun terancam punah. Proses pembudidayaan kembali jeruk gagal karena dirusak hama jeruk.
Ia menuturkan, petugas penyuluh lapangan membantu menyemprot hama tersebut. Mereka juga membagikan obat antihama kepada petani. Obat itu dicampur air dan belerang, direbus mendidih, didinginkan lalu disemprotkan ke tanaman jeruk.
Tetapi jumlah obat terbatas, tanaman pohon terserang hama hampir menyeluruh sehingga tidak semuanya disemprot. Mungkin jenis obat pembasmi hama yang disediakan pemerintah terbatas, katanya.
Ayah enam putra ini menuturkan, tahun 1995-2008 produksi jeruk keprok soe sampai 500 kilogram per pohon. Jeruk waktu itu dikirim ke Timor Timur (Timor Leste), Kupang, Flores Timur, Manggarai, Bajawa, Maumere, Rote Ndao, dan Sabu Raijua melalui pedagang. Jeruk soe tidak kalah bersaing dengan jeruk dari luar NTT. Waktu itu jeruk soe dijual di swalayan dan toko-toko di Kupang dengan harga Rp 5.000- Rp 25.000 per kilogram.
Yulius Sanam pun mampu menyekolahkan anak pertamanya, Toni Sanam, sampai perguruan tinggi. Ketika itu tanaman jeruk miliknya seluas satu hektar setiap tahun memproduksi sampai 5.000 ton, dengan harga jual Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram.
Menurun
Memasuki tahun 2009/2010, produksi jeruk berangsur menurun. Satu pohon jeruk hanya menghasilkan 20-50 kilogram. Buah jeruk kerdil dan kehitaman sehingga tidak layak dijual.
Ny Sanci Lassa (47), petani asal Desa Oenasu Kecamatan Molo Utara, mengatakan, pada musim hujan seperti sekarang semestinya daun dan buah jeruk sangat lebat atau padat. Namun, saat ini sebagian besar pohon jeruk tampak kerdil, meranggas, dan kehitaman karena terserang hama.
Hama ini sudah lama, tetapi tidak ada keseriusan pemerintah untuk mengatasi. Petugas dari kabupaten memberi 1-2 kilogram obat yang disebut bubur Kalifornia. Obat ini dicampur dengan 2-4 liter air, kemudian disemprotkan ke pohon jeruk dari batang sampai daun. Obat itu paling hanya untuk menyemprot 5-10 pohon jeruk, katanya.
Sebaiknya, penyemprotan dilakukan saat hama itu baru menyerang tanaman 10-15 hari. Namun, obat antihama ini sering terlambat datang, bahkan pernah selama satu tahun tanaman tidak disemprot sama sekali karena tak ada obat.
Lassa mengaku, tidak ada penyuluh yang menetap di desa. Petugas penyuluh pertanian menetap di Soe, 25 kilometer dari Molo Utara. Saat musim panen tiba, Agustus-September, mereka datang ke lokasi dan mengambil data mengenai keadaan jeruk petani.
Mereka janji akan datang setelah melapor pada pimpinan, tetapi tidak pernah muncul sampai tanaman itu mengering. Sebenarnya kami sendiri bisa mengatasi kondisi ini, tetapi kami tidak tahu nama obat hama yang cocok dan di mana obat itu dijual, kata Sanci.
Harga jeruk saat ini agak mahal karena belum musim jeruk, yakni Rp 500 per buah atau tiga buah dihargai Rp 1.000. Musim panen jeruk biasanya bulan Agustus-September. Saat itu harga jeruk hanya Rp 5.000 per kilogram, petik langsung di tempat, tetapi di pasar-pasar dijual Rp 10.000-Rp 25.000 per kilogram.
Jeruk keprok soe terancam punah. Ia memiliki satu hektar kebun jeruk, tetapi sudah ditebang dan diganti tanaman jagung, umbi-umbian, kacang, dan sayur. Sisa 5.000 meter persegi ditanami buah-buahan, seperti pepaya, pisang, mangga, dan jeruk nipis.
Anggota DPRD NTT, daerah pemilihan TTS, Alfred Baun, mengatakan, pemerintah daerah tidak tahu menjaga dan mempertahankan kearifan lokal atau keunggulan daerah. Jeruk soe sangat populer pada tahun tahun 1980-1990, tetapi memasuki tahun 2000-an jeruk itu dibiarkan merana.
Setiap pergantian kepala daerah, kebijakan pembangunan pun selalu berubah, termasuk kebijakan terhadap perkebunan jeruk di Soe. Ini sangat disayangkan karena jeruk itu sebagai satu-satunya kebanggaan di daratan Timor, terancam punah, kata Alfred Baun. Dia berjanji mendorong pemerintah daerah TTS dan NTT agar jeruk itu dibudidayakan lagi. (KORNELIS KEWA AMA)
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/31/04300573/jeruk.soe.kebanggaan.ntt.yang.terancam.punah