API Jakarta, 8 Juli 2015: Aliansi Petani Indonesia(API) telah menyelenggarakan Konsultasi Nasional di Jakarta, bertempatan di BINA DESA(8-9 Juli 2015.) Sebagai pembukaan Konsultasi Nasional yang diselenggarakan setiap tahunnya, kali ini dibuka oleh Sekjen-API: Muhammad Nuruddin, dengan mengangkat sebuah Kisah “mbah Asiyani” (63), yang sempat merasakan dinginnya lantai penjara selama 3 bulan hanya karena 7 batang kayu jati yang diduga dicurinya, dan mbah Harso (67) yang ditahan selama 23 hari karena memindahkan potongan kayu milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan yang berada di lahan yang disewanya dan belakangan baru diketahuinya bahwa lahan yang disewanya tersebut ternyata milik BKSDA, menjadi contoh peristiwa yang terangkat ke permukaan di mana masyarakat awam menjadi korban kurangnya informasi mengenai peraturan terkait keberadaan hutan dan masyarakat sekitar. Sementara aparat hukum seringkali bertindak di luar batas.
“Sistem penguasaan sumberdaya hingga hari ini semakin dihadapkan kepada tantangan pertambahan penduduk dunia yang membutuhkan ketahanan pangan, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang mempengaruhi tersedianya lahan, kawasan perikanan dan hutan. Hak penguasaan lahan yang tidak cukup akan meningkatkan kerentanan sosial, kelaparan dan kemiskinan, serta dapat menimbulkan konflik dan degradasi lingkungan manakala bersaing dengan para pengambil manfaat yang memperebutkan kendali atas sumber-sumber daya tersebut. Tata kelola dan pengaturan sumberdaya alam yang baik merupakan prasyarat tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pemanfaatan lingkungan secara berkelanjutan.”
Penatakelolaan penguasaan sumberdaya adalah unsur penting dalam menentukan bagaimana manusia, masyarakat dan lain-lain memperoleh hak-haknya yang berkaitan dengan kewajibannya, untuk menggunakan dan menguasai tanah, kawasan perikanan dan hutan. Adalah tanggung jawab negara untuk memastikan diakuinya hak-hak mereka atas penggunaan lahan tradisional (petani kecil, perempuan dan laki-laki, masyarakat adat).
Penduduk yang rentan membutuhkan perlindungan atas ancaman kehilangan matapencaharian mereka sebagai salah satu penghormatan dan perlindungan hak asasi mereka seraya menjaga pemanfaatan sumberdaya alami secara berkelanjutan. Pada 11 Mei 2012, sebuah Komisi Ketahanan Pangan Dunia (Committee on World Food Security) mengadopsi Panduan Sukarela (Voluntary Guidelines) yang sekaligus menandai sebuah tonggak sejarah bagi seluruh organisasi, lembaga, dan para individu yang bergerak di bidang hak atas tanah. Panduan Sukarela ini menjadi acuan global untuk praktik-praktik yang baik atas penguasaan tanah, kawasan perikanan dan hutan yang diakui oleh konsensus pemerintah-pemerintah internasional, organisasi internasional, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Tujuan Konsultasi Nasional
- Meningkatkan kesadaran petani yang tinggal di dalam/dekat hutan (di kawasan hutan)
tentang peraturan perundang-undangan terkait kehutanan nasional dan tanah atau
yang mempengaruhi kawasan hutan dan pertanian, kebijakan global dan perdebatan
tentang masalah hutan dan pertanian, seperti VGGT (Voluntary Guideline on The
Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forest/Panduan Sukarela
dari FAO seputar tanah, pertanian, dan hutan), FPIC (Free, Prior Informed
Consent/Kesepakatan yang bebas dan diinformasikan sebelumnya).
- Berbagi dan belajar dari situasi, inisiatif, tantangan dan peluang yang dihadapi oleh
petani di kawasan hutan, termasuk mata pencaharian berbasis hutan yang
- Mengembangkan saluran komunikasi untuk memperoleh dan menyebarluaskan
informasi di antara petani hutan, dan organisasi-organisasi nasional.
- Menganalisis kebijakan di tingkat nasional untuk petani di kawasan hutan.
Panduan Sukarela ini juga menetapkan prinsip-prinsip dan standard untuk tata kelola lahan, kawasan perikanan dan hutan yang bertanggung jawab yang diterima secara internasional. Secara keseluruhan tujuan Panduan ini adalah membantu negara-negara untuk meningkatkan tata kelola penguasaan lahan sehingga menjamin ketahanan pangan penduduk yang lebih baik dengan perhatian khusus diberikan kepada petani kecil, masyarakat adat, dan hak-hak perempuan. Terlepas dari keterbatasan-keterbatasannya, Panduan ini dapat memberi dukungan kepada pemerintah di seluruh tingkatan baik di nasional sampai lokal. Demikian pula para aktivis hak atas tanah, pengguna lahan, dan seluruh lembaga yang terlibat dalam kebijakan pembangunan dan peraturan yang mengatur akses kesumberdaya alam.
Panduan ini menetapkan standar praktik-praktik yang bisa diterapkan untuk mengevaluasi kebijakan dan program yang masih diusulkan atau yang sudah ada.