Jumat, 11 Februari 2011
Jambi, Kompas – Perambahan ilegal melalui praktik jual beli lahan dalam kawasan hutan negara di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, kian marak. Tutupan hutan yang tersisa tidak sampai 10 persen, dan kondisi itu telah meningkatkan konflik antara manusia dan satwa liar.
Berdasarkan analisis citra satelit 2010, kondisi tutupan tanaman keras dalam hutan produksi eks hak pengusahaan hutan (HPH) Arangan Hutan Lestari hanya tersisa dua persen, dari total area 9.229 hektar. Adapun di eks HPH PT IFA sekitar 40.000 hektar, tinggal 10 persen tutupan hutan yang tersisa. Sebagian besar kawasan tersebut merupakan bagian ekosistem Bukit Tigapuluh, yang telah marak dirambah baik oleh masyarakat biasa maupun pejabat daerah dan oknum penegak hukum.
Anggota DPRD Kabupaten Tebo, Jambi, Popriyanto, mengaku mengelola sekitar 42 hektar lahan dalam kawasan eks HPH Arangan Hutan Lestari untuk ditanami karet sejak 2003. Pada waktu itu, lanjut dia, dirinya membayar sekitar Rp 500.000 per hektar kepada warga lain untuk dapat mengelola kawasan tersebut.
Menurut Popriyanto, tidak hanya dirinya yang membuka kawasan hutan negara menjadi kebun. Perambahan liar oleh masyarakat sekitar telah mencapai lebih dari 1.000 hektar. Menurutnya, perambahan dilakukan karena banyak warga mengeluh tidak memiliki lahan.
Desa kami telah dikelilingi hutan tanaman industri sehingga hampir tidak ada lahan lagi untuk dapat digarap sebagai sumber penghidupan. Makanya banyak warga yang membuka lahan di Arangan, kata Popriyanto, Kamis (10/2) di Jambi.
Terus meningkat
Popriyanto melanjutkan, konflik warga dan gajah sumatera (elephas maximus) di wilayah itu semakin meningkat dalam enam bulan terakhir. Aktivitas gajah dalam hutan yang kini berubah menjadi kebun masyarakat itu telah merusak tanaman karet hingga lebih dari 500 hektar. Tidak hanya karet yang dirusak. Banyak tanaman sawit milik warga yang baru mau dipanen pun kini hancur total, tuturnya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi Tri Siswo mengatakan, dari pengamatan timnya di kawasan tersebut diketahui banyak oknum pejabat dan penegak hukum turut merambah liar kawasan hutan negara, baik di eks HPH PT Arangan maupun eks HPH PT IFA. Maraknya perambahan diperparah oleh keterlibatan aparat desa di wilayah tersebut. Salah satu kepala desa justru menfasilitasi jual beli lahan di sana.
Tri Siswo menegaskan, konflik manusia dan satwa liar dalam ekosistem Bukit Tigapuluh terus meningkat seiring maraknya perambahan liar melalui praktik jual beli lahan. Akhir tahun lalu, seorang warga di Kecamatan Tujuh Koto tewas terinjak gajah ketika masyarakat setempat bermaksud mengusir gajah dari dalam kebun yang berada di kawasan hutan negara, ujarnya.
Tidak hanya dalam ekosistem Bukit Tigapuluh, BKSDA Provinsi Jambi mendata terjadi 22 konflik antara manusia dan satwa liar, seperti harimau, gajah, dan beruang, di wilayah Jambi. (ITA)