Jumat, 04 Maret 2011
Kemacetan panjang ribuan truk yang hendak menyeberang dari Pelabuhan Merak di Pulau Jawa menuju Pelabuhan Bakauheni di Sumatera beberapa minggu terakhir menggambarkan rapuhnya sistem logistik nasional. Kerusakan beberapa kapal penyeberangan membuat pengangkutan barang antara dua pulau terganggu.
Kerapuhan sistem logistik nasional (sislognas) juga tecermin dari jatuhnya harga beras di tingkat petani saat panen, sementara harga di tingkat konsumen tetap tinggi.
Harga gabah kering pungut di petani saat musim panen ini di Kerawang tinggal Rp 3.000 per kilogram, sementara harga beras di konsumen masih Rp 6.000-Rp 7.000, kata Oo Sutisna, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jawa Barat, pekan lalu.
Tercerai berainya titik simpul sistem logistik nasional juga mengakibatkan besarnya perbedaan harga antara Jawa dan luar Jawa, di daerah tertinggal dan terpencil, bahkan di Jawa. Di kabupaten pegunungan di Papua, harga satu kantong semen bisa lebih dari 10 kali lipat harga di Jakarta, yang harganya Rp 65.00-Rp 70.000/50 kg.
Rapuhnya sislognas juga dicerminkan kisruh pupuk urea beberapa waktu lalu. Surat keputusan Menperindag Nomor 70 Tahun 2003 tentang rayonisasi penyaluran pupuk membuat pergerakan pupuk tidak fleksibel ketika ada kelangkaan di rayon berbeda. Apalagi ketika pemerintah menetapkan pupuk bersubsidi, antara lain urea, sebagai barang dalam pengawasan. Di lapangan, pengawasan dapat berubah jadi pungli.
Sistem sebelumnya melalui holding yang membawahi semua pabrik pupuk. Holding mencocokkan antara kebutuhan tiap daerah dengan produksi total semua pabrik pupuk, lalu mengatur pola pendistribusian ke daerah. Cara ini fleksibel ketika ada daerah kekurangan pupuk, tutur Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia Zaenal Soedjais, Selasa (5/2). Belakangan kelangkaan pupuk tak terdengar lagi karena menurut Soedjais petani memiliki alternatif, yaitu pupuk organik dan pupuk hayati.
Sistem logistik
Pemerintah bukannya tak menyadari arti penting sislognas. Januari 2010 hadir Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Logistik diartikan sebagai sistem tata kelola arus barang, arus informasi, dan arus uang melalui proses pengadaan, penyimpanan, transportasi, distribusi, dan penghantaran barang sesuai jenis, kualitas, jumlah, waktu, dan tempat yang dikehendaki konsumen. Arus dimulai dari titik asal sampai titik tujuan, berjalan efektif dan efisien.
Cetak biru mengidentifikasi berbagai kelemahan, mulai dari belum adanya fokus komoditas yang menjadi komitmen nasional, belum memadainya kuantitas dan kualitas infrastruktur, terbatasnya kemampuan dan jumlah pelaku logistik nasional di tingkat nasional dan global, belum adanya jaringan teknologi informasi andal yang diperlukan antara lain dalam pengelolaan stok barang, hingga tidak adanya lembaga yang menyatukan kegiatan lintas sektor tersebut.
Direktur Pusat Pengkajian Logistik dan Rantai Pasok Institut Teknologi Bandung Prof Dr Ir Senator Nur Bahagia mengatakan, sislognas semakin mendesak segera diwujudkan karena terjadi perubahan cepat dalam arah bisnis dan industri yang menentukan daya saing produk.
Bila pada tahun 1950-an industri mengandalkan sistem produksi massal untuk bersaing, inovasi kemudian menggeser persaingan pada menghasilkan produk baru, biaya lebih murah, layanan berkualitas, dan pada tahun 1990-an mengandalkan kecepatan dan menjaga hubungan dengan pelanggan. Pada tahun 2000-an, globalisasi menyebabkan persaingan bergeser ke sistem manajemen rantai pasok, di mana logistik menjadi bagian.
Dalam sistem tata kelola rantai pasok, barang bergerak dari produsen hingga ke konsumen akhir dalam aliran terencana detail serta tepat jumlah dan waktu. Targetnya, harga akhir produk menjadi murah karena logistik efisien dan efektif.
Misalnya dalam produksi komputer. Karena pembeli menetapkan waktu produk sampai di toko, jasa logistik harus memastikan bagian-bagian barang tiba pada waktu yang ditentukan untuk perakitan, lalu dikirim. Jadi, gudang tak perlu besar, tenaga kerja lebih sedikit, kata anggota Komite Ekonomi Nasional Chris Kanter.
Di dalam sistem logistik itu terintegrasi jaringan transportasi dan infrastrukturnya, layanan dokumen kepabeanan untuk barang impor dan ekspor, layanan pelabuhan dan bandara, pergudangan, teknologi informasi, sistem pembayaran antarnegara yang tak konvensional, hingga payung hukum untuk melayani kecepatan dan dinamika pergerakan barang.
Dewan nasional
Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sistem logistik nasional menjadi sangat penting untuk memastikan tiap wilayah bergerak maju secara sinkron sehingga menghilangkan ketimpangan pembangunan. Dari sisi sistem pasok global, Indonesia juga berpotensi sebagai pemasok hasil sumber daya alam dan industri olahannya ke pasar internasional sekaligus sebagai pasar.
Namun, kemampuan logistik Indonesia jauh dari memuaskan. Berdasar Indeks Kinerja Logistik (LPI) yang dikeluarkan Bank Dunia, bila tahun 2007 posisi Indonesia adalah 43 dari 150 negara yang disurvei, pada 2010 merosot ke peringkat ke-75 dari 155 negara. Posisi tersebut di bawah Vietnam Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Padahal, tantangannya jelas, tahun 2013 adalah target integrasi logistik ASEAN, tahun 2015 integrasi pasar tunggal ASEAN, dan 2020 integrasi pasar bebas global.
Survei kecil kami memperlihatkan biaya logistik Indonesia 25-30 persen dari produk domestik bruto, sementara di Thailand 18 persen dan Amerika Serikat 10 persen. Pemerintah targetnya 7 persen, kata Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah harus bekerja keras karena di tiap titik terjadi sumbatan. Jalan pantura Jawa masih bayak yang rusak. Proses pemeriksaan di pelabuhan lebih lama 10 menit saja, semua langsung kacau, tambah Zaldy.
Baik Senator, Chris Kanter, maupun Zaldy menginginkan segera ada Dewan Logistik Nasional langsung di bawah presiden untuk kerja mengoordinasikan semua instansi yang terlibat.
Hingga setahun berlalu sejak lahir Cetak Biru Sislognas, tak terasa ada perubahan berarti. Pelabuhan Merak tetap tak andal, harga pangan terutama beras tetap bergejolak, perbedaan harga barang strategis antara Jawa dan luar Jawa tetap tinggi. Jelas Indonesia butuh pemimpin yang sigap bergegas membangun sislognas atau tertinggal di landasan. (Ninuk Mardiana Pambudy)
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/04/02490645/menguatkan..degup.jantung.ekonomi.