“Tanah adalah modal kami
Pangan, kenapa petani musti beli?”
Wayang merupakan seni pertunjukan yang tidak hanya berperan sebagai hiburan bagi masyarakat, namun juga sebagai sarana pendidikan dan kontrol sosial, yang digunakan sebagai media penyampai pesan, baik terhadap pemerintah maupun masyarakat, dengan elemen-elemen utama seperti Dalang (penggerak wayang), dialog antar tokoh (ginem), alur cerita (lakon) maupun unsur pertunjukan lain seperti lagu. Aliansi Petani Indonesia (API) – dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional 2014 – menggelar pagelaran bertajuk Wayang Tani bersama komunitas COMDEV (Commedy Development) dengan mengetengahkan lakon bertemakan agraria dan usaha tani yang dikemas secara comedy-tragic, bertempat di Ballroom Hotel Oria, Jalan Wachid hasyim, Jakarta (22/9).
Pertunjukan wayang bergenre kontemporer dengan media wayang dari bahan plastik bekas botol mineral dan mengandalkan efect pencahayaan tersebut menampilkan Lek Joem selaku dalang beserta seluruh awaknya. Ditonton tidak kurang dari 200 pasang mata pertunjukan tersebut berlangsung secara cukup meriah. Selain dihadiri oleh sebagian besar peserta Konferensi Nasional Reforma Agrari (KNRA), juga mendapatkan apresiasi dari beberapa pengunjung lain yang sengaja datang untuk menyaksikan pertunjukan. Dalam sambutan membuka pagelaran tersebut, Sekjend Aliansi Petani Indonesia (API), M. Nuruddin, menyampaikan bahwa pendekatan estetika melalui media seperti wayang merupakan bagian dari upaya “menyentuh” kultur social yang memiliki keterkaitan integral dengan petani sebagai sebuah entitas sosial dan sejarah. “Wayang sebagai sebuah produk budaya masyarakat yang sudah berumur ratusan tahun tak dapat terpisah dari segala dinamika masyarakat yang membangunnya, yang hidup di pedesaan”, ungkap Nuruddin. “Estetika sengaja kita usung dalam peringatan Hari Tani Nasional saat ini sebagai sebuah upaya untuk menyentuh wilayah-wilayah yang mungkin selama ini luput dari jangkauan kita serta dengan cara ini kita dapat mengambil angle yang sekiranya dapat menyegarkan sudut pandang kita”, lanjutnya.
Sementara itu Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, yang juga hadir malam itu mengajak para pengunjung yang hadir untuk merefleksikan berbagai kasus-kasus agraria yang sudah terjadi setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. “Ada harapan pada pemerintahan yang baru untuk kita secara bersama-sama memperjuangkan cita-cita reforma agraria”, ungkap Iwan. “namun demikian kita musti tetap kritis dan mengawal arah perjuangan tersebut untuk cita-cita keadilan agraria”, lanjutnya. Iwan juga menyampaikan apresiasinya atas digelarnya wayang tani tersebut sebagai sebuah sumbangsih yang berarti dalam peringatan Hari Tani Nasional tahun ini.
Kenapa Wayang?
Wayang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia bernilai tinggi, sarat akan pesan dan nilai moral, baik secara tersurat maupun tersirat melalui simbol-simbolnya. Maka, kemampuan ini pula yang memungkinkan wayang tetap hadir sebagai sarana penyampai kritik sosial yang dapat disampaikan melalui beragam cara, baik dialog antar tokoh wayang, cerita, maupun lagu yang mengiringinya. Sebagai entitas estetika sekaligus seni yang unik, wayang mampu melakukan transformasi kultural dan mengangkat cerita mengenai isu-isu kekinian, yakni fenomena kehidupan nyata yang dialami oleh seluruh warga bangsa, termasuk di dalamnya petani Indonesia, baik dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Media pertunjukan seni wayang mampu menyampaikan kritik sosial tersebut dengan cara yang sopan namun mengena. Seorang tokoh wayang bahkan dapat merujuk pada sosok tertentu di dunia nyata yang digambarkan berdasarkan sifat-sifat, karakter, bentuk fisik, peran dan sebagainya.
Dalam konsep pertunjukan, Wayang adalah proses produksi makna kemudian pesan disampaikan kepada penonton. Dalam proses ini terjadi pertukaran antara masyarakat dan budaya melalui penandaan. Demikian pula, Wayang Tani membuat mekanisme penandaan tersebut melalui penokohan, lagu, bahasa, simbol-simbol, yang merujuk pada potret petani di Indonesia lengkap dengan berbagai persoalan dan dinamika baik ekonomi, social, politik dan budaya yang melingkupinya. Representasi petani adalah representasi produksi akan makna dari konsep-konsep di pikiran kita tentang petani dan kehidupannya melalui bahasa. Representasi petani adalah bagian inti dari proses produksi makna dan pertukaran antara masyarakat dan budaya mengenai sosok petani sebagai sebuah entitas di tengah pergumulan sosial, politik dan ekonomi berbangsa.
***
Kisah Pak Ladang dan Konsep Wayang Tani
Dalam konsep Wayang Tani di dalam pagelaran ini, setting waktu dan tempat adalah sebuah kampung “imaginer” dengan nama Desa Ketanen. Ketanen adalah bahasa Jawa yang diartikan sebagai petani. Dari petani inilah bangsa mulai dibangun. Dari petani bisa lantas menjadi apa saja yang ada di dalam masyarakat pedesaan. Dari petani mampu menjadi tentara, sarjana, intelektual, birokrat, pedagang dan kyai. Di desa Ketanen terjadi sebuah peristiwa politik mikro yang sesungguhnya merupakan gambaran politik ekonomi makro bangsa Indonesia. Kisah seorang petani, begitu besar jasanya untuk menghidupi segala macam manusia.
Pak Ladang, suami dari Mbok Benih, merupakan petani gurem dimana lahan pertaniannya didapatkan dari kebijakan landreform tahun 1965. Tanahnya tinggal 0,25 hektar dan itu merupakan harta warisan yang didapatkan dari orang tuanya. Ada pengumuman dari pemerintah yang disampaikan oleh spekulan tanah (Belantik) bahwa lahan pertanian di desa Ketanen harus dilepas untuk kepentingan pemodal yang akan dijadikan – menurut desas desus – untuk industri pengolahan. Berbagai informasi, intimidasi dan bujuk rayuan dengan iming-iming kemewahan hidup hasil dari penjualan lahan pertanian. Pak Ladang tak begitu mudah percaya bujuk rayu para belantik dengan berbagi iming-iming dan janji kesenangan. Menjadi pengangguran, peluang alih profesi tentu tidak diharapkannya. Dalam kegoyahan hati tak mudah untuk bertahan. Tapi Pak Ladang dan keluarganya tak goyah: Tanah adalah daya hidupnya, ia menolak berbagai bujuk dan rayuan. Ia terus bertahan. Tak mau meninggalkan dunianya, dunia tani. Enggan untuk mau dibujuk rayu dengan segala fantasi kenikmatan bahwa segala kebutuhan hidup tinggal dikirim, tinggal beli. Mentalitas Pak ladang adalah bertani, berproduksi, panen dan beribadah, “berdaulat atas pangan”, demikian ia menegaskan prinsipnya. Tidak sekedar untuk mencukupi diri sendiri, tapi juga untuk banyak orang, mendekap erat alam… seperti yang diajarkan para leluhurnya dahulu.
Apakah Pak ladang sebagai petani yang punya tanah satu-satunya sebagai harta yang paling berharga harus pergi meninggalkan desa para leluhurnya? Ia bertahan dan hanya mampu jadi petani. Inilah kisah seorang petani, bukan belantik, bukan penjarah lahan produktif!
***
Pak Ladang Sebagai Representasi Petani Kebanyakan
Pak Ladang merupakan gambaran umum petani lainnya yang ada di Indonesia. Pak Ladang adalah petani gurem dan diguremkan oleh struktur sosial politik yang menindas. Dalam perdagangan bebas pertanian yang tidak melindungi kaum tani, makin menambah kesusahan hidup dan menunjukkan bahwa mereka miskin dan semakin dimiskinkan oleh negara dengan mencabut hak atas tanah bagi petani. Keadaan Pak Ladang yang seperti itu bukan membuatnya makin terpuruk pada keadaan, namun justru membuatnya bangkit dengan kemampuan seadanya untuk tetap melawan keadaan de
ngan terus menebarluas wacana perlawanan kaum tani; Lugu, jujur, apa adanya.. adalah senjata orang kalah dan dimana mereka menggunakan kemampuan seadanya yang dimiliki tersebut untuk melawan penguasa.
Pak Ladang merupakan representasi dari sosok petani yang kalah sebagaimana kebanyakan petani pada umumnya di Indonesia. Orang yang kalah dalam konteks negara adalah rakyat yang kehilangan hak-haknyanya untuk mendapatkan pekerjaan, kehilangan penghormatan terhadap petani yang memberikan pangan pada dunia, bahkan kehilangan hak dalam menyuarakan keluhan. Pak Ladang adalah salah satu dari sekian juta masyarakat di Indonesia yang mengalami situasi sosial dalam hal marginalisasi dan ketidakadilan yang kemudian ingin dilawannya.