Kamis, 10 Maret 2011
Nuansa kegusaran terasa benar di ruang seminar Korupsi yang Memiskinkan yang diselenggarakan harian Kompas, akhir Februari lalu. Banyak yang tak habis pikir, bagaimana bisa, setelah 65 tahun merdeka dan beberapa dekade membangun, republik ini tak kunjung juga terbebas dari problem kemiskinan struktural yang kronis.
Padahal, kita dianugerahi sumber daya alam melimpah. Kue pembangunan dalam bentuk produk domestik bruto (PDB) juga sudah menggelembung, kini masuk 20 terbesar dunia. Demikian pula volume APBN dan alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan, dari waktu ke waktu terus meningkat. Volume utang untuk pembiayaan pembangunan juga meningkat tajam. Tetapi, jumlah orang miskin sulit sekali turun.
Sebelum krisis, volume APBN kita di bawah Rp 100 triliun dan PDB Rp 877 triliun. Saat itu kasus kemiskinan 22 juta orang. Kini APBN Rp 1.200 triliun dan PDB mendekati Rp 7.000 triliun, tetapi kasus kemiskinan justru meningkat menjadi 31 juta lebih orang.
Angka kemiskinan 2010 menurut BPS adalah 31,2 juta jiwa atau 13,33 persen. Namun, angka ini hanya menghitung mereka yang masuk kategori miskin absolut diukur dari pendapatan, itu pun pada standar yang paling minim. Angka ini belum mengungkap wajah kemiskinan Indonesia yang sebenarnya, dari berbagai dimensi. Angka tersebut juga belum memasukkan mereka yang tergolong tidak miskin, tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan, yang angkanya bahkan jauh lebih besar dari yang miskin absolut.
Jika menggunakan standar garis kemiskinan yang berlaku internasional, yakni pendapatan 2 dollar AS per hari, jumlah penduduk miskin masih 42 persen atau hampir 100 juta lebih. Ini hampir sama dengan total penduduk Malaysia dan Vietnam digabungkan. Artinya, Indonesia adalah rumah sebagian besar penduduk miskin Asia Tenggara.
Kemiskinan bisa kita lihat sehari-hari di depan mata kita dalam bentuk kian luasnya daerah miskin dalam peta kemiskinan, masih banyaknya daerah tertinggal, memburuknya angka kematian ibu dan bayi, masih tingginya kasus kurang gizi dan busung lapar, tingginya angka anak putus sekolah, masih sangat besarnya jumlah mereka yang dianggap layak menerima raskin dan Jamkesmas yang 70 juta lebih orang.
Selain itu, juga dari tingginya proporsi pekerja informal yang sekitar 70 persen dari total pekerja, tingginya proporsi penduduk tanpa akses ke hak-hak dasar, dominannya angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah, tingginya angka bunuh diri dan kriminalitas berlatar kesulitan ekonomi, meluasnya permukiman kumuh perkotaan, dan masih banyak lagi.
Paradigma kebijakan
Indonesia sebenarnya pernah mengalami masa keemasan pemberantasan kemiskinan. Pada periode puncak pertumbuhan ekonomi 1976-1996, perekonomian mencatat pertumbuhan rata-rata sekitar 7,5 persen. Meski pemberantasan kemiskinan secara eksplisit belum masuk agenda prioritas pembangunan hingga awal 1990-an, pertumbuhan yang terjadi saat itu dinilai sangat pro-poor.
Ditopang oleh devisa dari minyak, pemerintahan Soeharto mengombinasikan target pertumbuhan ekonomi tinggi dengan berbagai program anti-kemiskinan. Artinya, menyerang kemiskinan dari dua arah. Hasilnya, selama kurun itu, angka kemiskinan berhasil diturunkan lebih dari separuhnya, dari 40,1 persen (1976) menjadi 11,3 persen (1996).
Namun, sebagai akibat krisis 1997, angka kemiskinan kembali melonjak menjadi 17,6 persen (1997) dan 23,4 persen (1999). Pascakrisis, kita bukan hanya tak kunjung mampu keluar dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendahpadahal pertumbuhan prasyarat terciptanya lapangan kerja dan pengurangan angka kemiskinanmelainkan pertumbuhan ekonomi rendah itu sendiri dinilai juga tak memihak kelompok miskin dan kian tak berkualitas.
Pertumbuhan ekonomi pascakrisis rata-rata hanya 5,15 persen per tahun atau sekitar 70 persen dari rata-rata pertumbuhan sebelum krisis. Selama itu, angka kemiskinan hanya turun dari 18,23 persen (2002) menjadi 14,22 persen (2009) dan 13,3 persen (2010) atau 4 persen dari laju pengurangan angka kemiskinan sebelum krisis.
Dalam 15 tahun terakhir, jumlah orang miskin hanya turun 4,4 persen, dari 17,7 persen (1995) menjadi 13,3 persen (2010). Di era Gus Dur dan Megawati, angka kemiskinan bisa ditekan kembali menjadi di bawah 20 persen, dengan angka sebesar 16 persen. Selama enam tahun pertama pemerintahan SBY (2005-2010), angka kemiskinan hanya turun 2,7 persen, dari 16 persen (2005) menjadi 13,3 persen (2010).
Pertumbuhan ekonomi pascakrisis ditandai oleh lesu darahnya sektor tradable yang banyak menyerap tenaga kerja seperti pertanian, manufaktur atau industri pengolahan, serta sektor pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan lebih banyak disumbangkan sektor non-tradable atau jasa-jasa.
Sektor industri, yang menyumbang sekitar 40 persen dari PDB dan mencatat pertumbuhan hingga 14 persen atau dua kali pertumbuhan ekonomi nasional pada era Soeharto, kini hanya tumbuh sekitar 4 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi.
Separuh sektor industri bahkan tumbuh negatif atau mendekati nol persen. Sementara sektor pertanian yang sumbangannya terhadap PDB terus menyusut dari 45 persen (awal 1970-an) menjadi 25 persen (1980) dan kini 14 persen harus menanggung 40 persen lebih angkatan kerja.
Banyak ekonom mengaitkan sulitnya menurunkan angka kemiskinan dengan praktik-praktik tata kelola pemerintahan serta paradigma pembangunan dan paradigma kebijakan pemberantasan kemiskinan yang tak jarang bukan saja tak berpihak kepada kelompok miskin, melainkan juga memiskinkan itu.
Di era Soeharto, paradigma dimaksud adalah kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi tinggi. Asumsinya, dengan pertumbuhan tinggi, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan dengan sendirinya akan teratasi.
Sebagaimana banyak negara lain, Indonesia mengawali pembangunan dari sektor pertanian. Lewat program Revolusi Hijau, sektor pertanian menyumbang besar pada transformasi struktural di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga awal 1980-an.
Saat itu, menyadari pertanian pemberi makan dan lapangan kerja sebagian besar rakyat, pemerintah menetapkan sektor pertanian sebagai prioritas dengan memberikan berbagai insentif dan fasilitas yang dibutuhkan oleh sektor pertanian untuk bisa tumbuh. Pertumbuhan pada era ini disebut sangat pro-poor karena berhasil mengangkat jutaan keluarga petani dari kemiskinan. Selama bertahun-tahun, semua kebijakan pembangunan pertanian diimplementasikan untuk mencapai swasembada beras, yang akhirnya tercapai 1983.
Namun, kebutuhan untuk menjadi negara modern, lebih-lebih pasca-berakhirnya bonanza minyak yang membuat pemerintah banting setir ke upaya menggenjot industri berorientasi ekspor guna menghemat devisa, membuat pertanian dan pembangunan pedesaan kemudian ditinggalkan dan sekadar menjadi pengganjal sektor industri.
Sejumlah sektor industri yang dianggap sebagai unggulan diproteksi dan diberi berbagai fasilitas kemudahan. Kebijakan pembangunan yang broadbased dan terintegrasi ditinggalkan sehingga struktur perekonomian bolong di tengah. Era ini juga ditandai oleh lahirnya kapitalisme kroni yang ekspansinya banyak dibiayai dengan dana likuiditas murah BI, perbankan nasional serta utang luar negeri, dan kemudian ikut menjadi pemicu krisis 1997.
Keinginan mengejar pertumbuhan tinggi, ketergantungan pada utang/modal asing dan tuntutan rezim perdagangan bebasditambah krisis 1997 yang memaksa Indonesia tunduk di bawah tekanan IMF/Bank Duniajuga mengharuskan Indonesia membuka lebar-lebar pintu bagi masuknya asing, termasuk di sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Kondisi ini kian membelenggu pemerintah untuk bisa berbuat lebih banyak dalam agenda kesejahteraan, serta menempatkan masyarakat pada posisi harus berhadapan langsung dengan kekuatan pasar bebas, tanpa proteksi.
Pascakrisis, pendekatan ini masih terus dilanjutkan dengan kebijakan liberalisasi pasar lebih jauh dengan membuka keran impor berbagai produk dan keran ekspor komoditas bahan mentah/bahan baku industri sehingga menyulap kita sepenuhnya jadi ekonomi pedagang dan konsumsi, sementara industri pengolahan bernilai tambah tinggi justru tidak tumbuh.
Yang terjadi bukan penguatan ekonomi domestik, melainkan ekonomi yang semakin bergantung pada impor, bahkan kini juga untuk memenuhi kebutuhan pangannya sekalipun.
Sejumlah kalangan menggambarkan, setelah 65 tahun merdeka, sistem perekonomian kita belum beranjak dari model VOC yang lebih banyak bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dan ekspor komoditas primer karena kebijakan perdagangan dan fiskal justru membunuh sektor-sektor produktif, seperti industri pengolahan dan manufaktur dalam negeri.
Rezim kebijakan yang liberal tanpa dibarengi penguatan fondasi perekonomian dalam negeri bertanggung jawab sebagai sumber penyebab deindustrialisasi dan terjadinya involusi sektor pertanian, dua sektor penyumbang utama lapangan kerja.
Dalam banyak hal, tatanan ekonomi, politik, sosial, dan budaya kerap kali justru dituding berperan besar dalam melanggengkan kemiskinan itu sendiri dan menguatkan proses pemiskinan rakyat. Pertumbuhan ekonomi sejak era Soeharto hingga kini dicirikan oleh tingginya angka ketimpangan, memburuknya kualitas lingkungan, serta terdeplesinya dengan cepat sumber daya alam dan hutan, ditambah lagi kealpaan dalam investasi pada pengembangan sumber daya manusia.
Sebagai akibat kebijakan yang lebih pro-pemodal besar, bias perkotaan, dan sektor jasa, terjadi ketimpangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan antarwilayah yang kian tajam. Meski BPS melaporkan semakin menurunnya koefisien gini (yang artinya semakin menurunnya angka ketimpangan), gambaran yang ada memperlihatkan kenyataan yang masih sangat memprihatinkan.
Ada tendensi pemusatan konsentrasi penguasaan aset nasional dan manfaat pembangunan pada sekelompok kecil orang yang punya akses dan kedekatan ke penguasa. Sebanyak 20 persen kelompok pendapatan tertinggi sekarang ini masih menguasai 53 persen kue nasional dan 40 persen di bawahnya mendapat 32 persen, sementara 40 persen kelompok pendapatan terbawah hanya mendapat remah-remah sisanya sebesar 15 persen.
Korupsi dan kebocoran juga menyabotase hak rakyat untuk dipenuhi hak-hak dasarnya dan untuk sejahtera. Sinyalemen almarhum Prof Sumitro Djojohadikusumo yang dipertegas laporan Bank Dunia menyebutkan, angka kebocoran sekitar 30 persen sendiri.
Kenyataan bahwa separuh lebih kepala daerah tersangkut kasus korupsi hanya menunjukkan, desentralisasi ternyata juga mendesentralisasikan virus praktik-praktik korupsi anggaran pembangunan. Banyaknya agenda pilkada membuat anggaran negara terkuras untuk biaya politik dan demokrasi, sementara untuk belanja sosial kesejahteraan semakin mengecil.
Apalagi, jika kemudian proses yang demokratis ini ternyata juga tak menjamin terlaksananya agenda penyejahteraan rakyat. Belum lagi karena kekhawatiran berurusan dengan KPK, 40 persen dana APBN yang mengalir ke daerah lewat dana perimbangan dalam praktiknya akhirnya juga lebih banyak ngendon di SBI ketimbang dibelanjakan untuk membangun infrastruktur fisik, fasilitas pelayanan publik, dan program-program peningkatan kesejahteraan rakyat lainnya.
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/10/05134437/susahnya.memberantas.kemiskinan.di.indonesia