SIARAN PERS: Nusa Dua, Bali, 11 Maret 2011
Indonesia menjadi tuan rumah dalam acara Ministerial Conference on Biodiversity, Food Security and Climate Change yang diselenggarakan tanggal 11 Maret 2011 di Nusa Dua, Bali. Kegiatan yang dihadiri oleh sekitar 48 negara ini merupakan kerjasama yang baik pemerintah Indonesia dengan Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations. Dalam pertemuan ini terdapat tiga isu besar yang akan diangkat, yaitu (1) New Tools for Agro-biodiversity and Food Security in the Era of Climate Change, (2) Capitalizing the ITPGRFA Benefit-sharing Fund (BSF) dan (3) Nagoya Protocol of the Convention on Biological Diversity (CBD).
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta, MS, yang mewakili Presiden Republik Indonesia, dalam Sambutan Pembukaannya menyampaikan Isu keanekaragaman hayati, ketahanan pangan dan perubahan iklim merupakan tiga isu penting yang saling berkaitan. Berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan dan badai merupakan dampak dari perubahan iklim yang harus diantisipasi sektor pertanian yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dengan demikian ketersediaan pangan bagi penduduk akan tergantung dari ketersediaan sumber daya hayati berupa tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroba. Indonesia, sebagai salah satu negara megabiodiversity di dunia menyadari pentingnya peran keanekaragaman hayati, khususnya, sumberdaya genetik sebagai bahan baku pangan, obat-obatan serta bahan industri. Dengan menjaga asetnya berarti Indonesia telah berperan bagi dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan, kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan.
Sebagai tuan rumah Konvensi Keanekaragaman Hayati ke 2 pada tahun 1995, Konvensi Perubahan Iklim pada tahun 2007 serta pertemuan Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm tahun 2010, Indonesia berkomitmen untuk terus melestarikan lingkungan melalui kerjasama tingkat global. Penurunan 26% emisi gas rumah kaca secara business as usual dan 41% dengan bantuan internasional di tahun 2020 merupakan target Indonesia berupaya mengatasi dampak perubahan iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup memiliki peran besar dalam Ministerial Dialogue ke 3, mengingat posisinya sebagai focal point dalam perundingan Konferensi Para Pihak ke 10 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) tgl 29 Oktober 2010 di Nagoya Jepang. Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the CBD mengakui bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan SDA kehati secara berkelanjutan serta pembagian keuntungan yang adil dan merata hasil pemanfaatan sumber daya genetik. Sebagai instrumen internasional, maka Protokol ini juga mengatur agar biopiracy atau pencurian Sumber Daya Genetik suatu negara dapat dicegah.
Indonesia saat ini sedang mempersiapkan proses ratifikasi Protokol Nagoya serta menyusun Rencana Undang Undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (UU PSDG). Ke duanya saling bersinergi dimana elemen Protokol Nagoya terintegrasi dalam UU, sebaliknya UUPSDG merupakan implementasi Protokol Nagoya yang memperkuat legislasi nasional. Adapun Isu yang perlu dibahas lebih lanjut dalam RUU PSDG adalah (a) Kelembagaan (b) Konsep kepemilikan SDG dan (c) Hak kekayaan intelektual atas pemanfaatan SDG (persyaratan disclosure requirement dalam aplikasi paten). Dengan diratifikasinya Protokol Nagoya serta disahkannya UU PSDG maka hal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga di bidang pelestarian keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan bagi dunia.
Untuk informasi lebih lanjut:
Ir. Arief Yuwono, MA
Deputi MENLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup.
Telp: 021-85905770, Email: [email protected] atau [email protected]
http://www.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=5018%3Aministerial-conference-on-biodiversity-food-security-and-climate-change&catid=43%3Aberita&Itemid=73&lang=en