JAKARTA – Berbagai upaya pemerintah menata perekonomian Indonesia saat ini dinilai hanya kebijakan tambal sulam, tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya, misalnya dalam masalah krisis pangan dan produktivitas bangsa yang rendah. Padahal, persoalan ekonomi nasional sebagian besar bersifat fundamental, sehingga membutuhkan solusi yang mendasar bukan parsial yang hanya manjur dalam jangka pendek tapi akan memperdalm masalah di kemudian hari.
Jika masalah ekonomi bangsa itu diibaratkan seperti kanker maka metode pengobatannya tidak bisa hanya menggunakan plester atau salep. Untuk itu, pemerintah mesti memahami persoalan fundamental itu agar bisa menerapkan solusi yang efektif dan tidak membuang-buang waktu lagi.
Demikian pendapat Rektor Universitas Airlangga, Surabaya, M Nasih, saat dihubungi, Kamis (4/6).
Menurut Nasih, salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah membuat kebijakan yang holisitik dan menata pengelolaan anggaran yang sesuai dengan prioritas. “Buat apa mengeluarkan kebijakan-kebijakan parsial yang pada akhirnya memperdalam masalah dan sulit untuk dibenahi,” ujar dia.
Nasih kemudian menyontohkan gagasan Presiden Joko Widodo tentang pasar lelang yang dinilainya sebagai kebijakan tambal sulam. Tujuannya untuk mengatasi masalah petani, tapi akibatnya kelak justru bisa menambah masalah petani.
“Potensi disusupi pemain besar atau yang dilelang itu barang impor akan selalu ada. Kita jangan terjebak stigma bahwa subsidi itu haram. Amerika Serikat, Thailand, dan negara lain justru melakukan untuk petaninya, entah subsidi pupuk atau lainnya agar petani punya kemampuan memproduksi dengan lebih murah dan bisa bersaing,” papar dia.
Menurut Nasih, apabila pemerintah membeli produk petani nasional lebih dulu di harga tinggi sebelum mengimpor maka yang menjadi pertimbangan harusnya multiplier effect-nya di dalam negeri berupa kesejahteraan petani, kenaikan daya beli, dan penambahan lapangan kerja, jangan cuma menghitung segi komersial. Jika solusinya hanya impor untuk memenuhi pasokan dan menekan harga maka yang diuntungkan adalah importir dan petani negara eksportir.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Teknologi Pangan UGM Yogyakarta, Jamhari, mengungkapkan adanya kesalahan fundamental pemerintah dalam memperlakukan sektor pertanian, seperti salah penghitungan dalam komposisi produk domestik bruto (PDB), hingga minimnya dukungan pembiayaan dari bank BUMN.
“Dari kesalahan hitung itu, kontribusi pertanian ke PDB yang 15 persen dijawab pemerintah dengan bank BUMN yang hanya menyaluirkan 2 persen dari total kredit ke pertanian. Jelas ini tidak adil, untuk bertahan saja tidak mungkin apalagi untuk swasembada,” tegas Jamhari.
Bandingkan dengan kredit yang mengucur ke properti yang jor-joran termasuk dari bank pelat merah hingga mencapai hampir 20 persen dari total kredit perbankan. “Belum lagi kredit yang dikucurkan untuk importir pangan,” ungkap dia.
Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, menambahkan pemerintah kerap menerapkan kebijakan yang secara logika kebenaran terbalik-balik. Yang seharusnya dilakukan tidak dilaksankan, namun yang semenstinya tidak diterapkan justru diimplementasikan.
“Importir pangan didukung oleh bank BUMN, tapi ekspor pangan tidak dibiayai,” ujar Maruf. Contoh lain, pajak properti senilai 14 triliun rupiah dihapuskan saat pemerintahan SBY. Padahal itu uang negara yang seharusnya, seperti juga piutang negara yang di atas 1 triliun rupiah, hanya bisa dihapuskan dengan persetujuan DPR.
Korbankan Petani
Dihubungi terpisah, Ketua Departemen Advokasi Aliansi Petani Indonesia (API), Ferry Widodo mengemukakan sudah terlalu lama tata-niaga pangan di Indonesia tidak melibatkan para produsen pangan atau petani, bahkan justru menjadikan para produsen pangan sebagai korban.
Sektor perdagangan produk pertanian yang jauh lebih berkuasa dari pada produksi membawa Indonesia yang berpenduduk 250 juta orang ini menyerahkan sebagain besar kebutuhan pangannya pada impor. Dan kini, swasembada sebagai jargon kampanye terbukti jauh dari realita sebab seluruh pengambil keputusan menikmati rente yang sangat besar dari aktivitas tata niaga pangan yang berbasis impor.
Ferry menyatakan tugas pokok pemerintah untuk menuju swasembada adalah membereskan tikus-tikus jahat yang menguasai tata-niaga pangan. Inflasi memang menjadi tantangan, tapi Ferry yakin bahwa di komoditas tertentu seperti beras, jagung, dan gula, ada begitu banyak hasil produksi petani yang gagal diserap pemerintah. Akibatnya, pemerintah bisa ditekan oleh importir untuk terus membuka keran impor. YK/SB/WP
SUMBER: http://www.koran-jakarta.com/?31582-kanker+ekonomi+indonesia+tak+bisa+hanya+diolesi+janji