Badan Urusan Logistik (Bulog) mesti tampil sebagai penyangga stok pangan nasional. Untuk itu, Bulog mesti diberdayakan untuk bisa membeli produk pangan nasional pada harga berapa pun sehingga merangsang petani bercocok tanam.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknologi Pangan UGM Yogyakarta, M Maksum, pergantian direktur utama (dirut) Bulog tidaklah begitu penting karena sesungguhnya yang harus dilakukan pemerintah adalah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras petani. Gagalnya Bulog mencapai target 2,5 juta ton beras, apalagi memenuhi target Presiden Joko Widodo sebesar 4 juta ton beras, disebabkan karena Instruktur Presiden (Inpres) No 5 tahun 2015 mematok HPP murah. Jadi, kalau HPP nggak masuk akal seperti sekarang, ya direksi Bulog nggak akan bisa kerja, kata Maksum saat dihubungi, Senin (8/6).
Dia menanggapi pergantian dirut Bulog dari Lenny Sugihat kepada Djarot Sumayakti. Pergantian ini terkesan cepat, karena Lenny baru menjabat selama 5 bulan. Kabarnya, Lenny dinilai gagal mencapai target penyerapan beras yang telah ditentukan pemerintah.
Maksum menggarisbawahi masalah Inpres HPP beras yang jauh dari realitas pasar merupakan penyebab gagalnya Bulog menyerap beras petani. Pada jaman SBY, rendahnya HPP besar kurang menjadi masalah karena kekurangan penyerapan beras petani mudah sekali ditambal dengan impor dimana harga di pasar dunia memang masih lebih rendah dari HPP. Sementara saat ini, presiden sudah berjanji untuk tidak impor beras, katanya.
Selain itu, Inpres 5/2015 dengan proporsi harga antara beras (7.300 rupiah per kg) dan gabah kering panen (7.300 rupiah per kg), dan dengan biaya penggilingan 300-500 rupiah per kg, secara teknis hanya bisa terwujud ketika rendemennya penggilingannya 66-67 persen. “Dan rendemen ini tidak pernah ada, di laboratorium sekalipun, kata Maksum.
Adapun keinginan presiden yang ingin menjadikan Bulog sebagai stablilator harga sulit dilakukan tidak hanya karena tidak mampu menyerap beras petani tapi juga karena ketidaksiapan manajemen dan system Bulog dan mengemban tugas stablisator. Kuncinya ada pada mahalnya biaya stabilisasi sebab storage cost yang mahal, storage losses yang tinggi, sementara modal Bulog didapat dari utang. Artinya Bulog perlu capital cost yang tidak komersil, baru mungkin ada usaha stablisasi, kata Maksum.
HPP Multi Kualitas
Sementara itu, Ketua Departemen Advokasi Aliansi Petani Indonesia (API), Ferry Widodo, menilai Dirut Bulog yang baru harus berani mengoreksi HPP dengan kualitas tunggal yang sama sekali tidak mencerminkan realitas kualitas gabah dan beras yang beragam. Meskipun perdagangan beras dengan kualitas pilihan sering tidak dipengaruhi pemerintah, kebijakan harga yang mengacu pada kualitas medium tidak memberi dukungan kepada petani untuk bergairah memproduksi gabah dan beras dengan kualitas lebih baik. Hal ini terjadi mengingat kualitas gabah dan beras yang lebih baik dari medium pun pada akhirnya akan dihargai dengan HPP medium. Jadi sudah sangat terang bahwa kebijakan HPP gabah/beras tunggal kurang mendorong petani berpacu untuk meningkatkan kualitas gabahnya, kata Ferry.
Ferry juga menilai salah satu kelemahan kebijakan perberasan saat ini adalah manajemen pangan beras selama ini terlalu mengandalkan hanya kepada Bulog, yang faktanya tidak mampu berbuat banyak
SUMBER BERITA: http://koran-jakarta.com/?31740-bulog-mesti-jadi-penyangga-stok-pangan