Paradoks Petani selalu berulang tiap musim. Ketika panen tiba, harga turun dan pemerintah mengeluarkan kebijakan import beras. Dalam pikiran yang sangat sederhana, ini adalah kebijakan yang aneh. Bagaimana mungkin ketika gabah dan beras melimpah, Pemerintah justru mengimport beras.

Akar masalahnya ternyata pada kebijakan pembelian beras oleh Bulog. Penelitian yang dilakukan oleh API bekerja sama dengan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), 2012, menemukan beberapa permasalahan yang menyebabkan  fungsi  Perum  Bulog  sebagai  lembaga  penyangga harga (Price buffer) diragukan efektifitasnya.

Pertama, kecenderungan  Perum Bulog adalah membeli beras, dan bukan gabah, sehingga petani harus mempunyai modal  tambahan  untuk   melakukan   proses   gabahnya   menjadi   beras. Kedua, keterbatasan  kemampuan  Perum Bulog  untuk  berhubungan langsung  dengan petani dan hanya berhubungan dengan mitra usahnya yaitu para pedagang besar di tingkat  kabupaten. Ketiga, perubahan status  Bulog dari  Badan  menjadi  Perum yang berorientasi pada profit, sehingga tidak memungkinkan bagi Perum Bulog membeli beras  dengan harga tinggi dan menjualnya dengan harga lebih murah.

Sedangkan  diketahui bahwa pada musim  panen  harga  beli  Perum  Bulog  berada  di bawah  harga pasar. Keempat, Pemilikan sarana, ketersediaan personil dan mekanisme kerja Bulog dalam pembelian  gabah   beras   petani   belum   menjamin   dapat   dilaksanakannya pembelian gabah/beras langsung dari petani.

Dari keempat masalah di atas, maka bentuk dan pola pemasaran beras di dalam negeri cenderung bersifat oligopoli,  di mana kelompok pedagang menjadi penentu harga (price maker), sedangkan petani hanya berperan sebagai penerima harga (price taker).

Dampak dari kebijakan tersebut, alih-alih membeli beras dari petani, pemerintah justru mengimport beras ketika panen raya petani. Karena itu menjadi masuk akal kalau kita mencurigai bahwa penentuan HPP beras tersebut justu ditujukan untuk mempermudah pemerintah melakukan import beras. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kepentingan elit politik dan ekonomi. Import beras telah menjadi ladang untuk memperoleh keuntungan.

Kenapa kita bisa menyimpulkan begitu karena salah satu kunci penyelesaian persoalan tersebut adalah perubahan kebijakan, dan selama bertahun-tahun badan legislative tidak memiliki kehendak untuk mengatur mekanisme yang lebih sederhana dan nyata agar gabah dan beras petani dapat dibeli secara langsung oleh Bulog.

Dengan aturan yang tidak berubah, sekalipun secara etik politik tindakan import tersebut salah, tetapi secara kebijakan pemerintah tidak bisa dituntut melanggar karena aturan pembelian gabah dan beras tidak memungkinkan bulog membeli beras dari petani ketika harga tidak sesuai patokan kebijakan.