Warga Ibu Kota DKI Jakarta, adalah salah satu kota yang terpadat penduduknya di Indonesia. Ibu Kota Negara Indonesia ini memiliki Mobilitas yang sangat luar biasa, seperti perkembangan Politik/Ekonomi/Sosial/Budaya. Tetapi Jakarta juga harus mengalami masa-masa sulit pada masa-masa keemasannya. Seperti bencana alam-banjir/kebakaran dan lain-lainnya yang menjadi polemik bagi pemerintah daerahnya. Kini warga Jakarta dikejutkan dengan kelangkaan beras dipasaran. Dalam kurun waktu beberapa minggu ini, telah terjadi kelangkaan beras, sehingga kenaikan beras itu terjadi diatas rata-rata 30% di wilayah DKI Jakarta, bahkan sekitarnya mengalami dampak dari kelangkaan dan kenaikan beras ini. Padahal kita sudah menyambut kalender musim panen di Indonesia, dimana saat ini provinsi Demak (Jawa Tengah), sudah menikmati hasil panen rayanya. Para petani di Demak memanen hasil produksi rata-rata sembilan ton per hektar (ha) gabah kering. Bahkan menurut pantauan Aliansi Petani Indonesia(API), jumlah ini meningkat dibandingkan beberapa tahun lalu, yang rata-rata hanya memproduksi sebanyak 4-5 ton per hektar (ha). Itulah sebabnya Jakarta tergantung pada dua Provinsi ini seperti JABAR dan JATENG yang menjadi penyuplai terbesar dan sekaligus lumbung pangan bagi warga Jakarta.
“Apakah cadangan beras kita di Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik(BULOG) sudah menipis, lalu bagaimana peran system PSO (public service obligation) dimana yang kita ketahui system ini mengemban amanah untuk menjaga stabilitas harga beras di tingkat produsen dengan melakukan pembelian beras petani (medium) dengan penyesuaian standar HPP dan di tingkat konsumen dengan melakukan operasi pasar (OP) pada saat terjadi kenaikan harga beras atau kelangkaan beras. Apa benar adanya mafia beras. Apakah ini cara pemerintah untuk menahan kran impor dari luar hingga masa panen raya mendatang pada maret hingga april 2015 nanti.”
Pada akhirnya kelangkaan beras ini menjadi polemik dan memicu kenaikan harga beras yang sudah menembus 30%, dari yang kualitas medium hingga kualitas premium. Seperti IR- I Rp 9.500/kg, Kini sudah mencapai Rp 12.000/kg. Sedangkan IR-II yang biasanya mencapai Rp 8.500/kg, kini dijual Rp 11.000/kg. Kenaikan harga juga terjadi pada semua jenis beras. Dirasakan kenaikan ini sejak 19/2/2015 hingga hari ini (26/2/2015).
Persoalan kelangkaan dan kenaikan beras dijakarta ini hanya sebagai barometer buat provinsi. Kelangkaan beras dipasaran wilayah DKI Jakarta ini ditenggarai oleh minimnya pasokan beras dari daerah-daerah yang menjadi andalan suplai terbesar bagi Jakarta, seperti Demak (Jawa Tengah) dan provinsi Jawa Barat yang menjadi penyuplai beras terbesar. kejadian yang sangat krodit ini disebabkan musim panen mereka yang tak merata, entah dari Anomali cuaca (Kondisi cuaca yang menyimpang dari keseragaman sifat fisiknya.) Mengingat kebutuhan beras bagi warga DKI saja maksimal 1.000-2.000 ton per hari karena kebutuhan DKI Jakarta sekitar 3.000 ton/hari. Bahkan menurut pantauan API, saat ini suplai beras yang masuk sangatlah minim, sekitar 500-600 ton bahkan terancam berkurang dalam perhari, sejak Kamis (19/2/2015), tepatnya di pasar induk beras cipinang Jakarta-timur.
Indonesia memiliki lumbung-lumbung beras yang lainnya dan tersebar dibeberapa provinsi di Indonesia. Ada 10- Provinsi yang dikategorikan surplus sentra beras tertinggi didalam negri, seperti Jawa Timur (1,1 juta ton), Jawa Tengah (779 ribu ton), Jawa Barat (540 ribu ton), Sulawesi Selatan (490 ribu ton), NTB (155 ribu ton), DKI Jakarta dan Banten (86 ribu ton), Lampung (69 ribu ton), Sumatra Selatan (68 ribu ton), DIY Yogyakarta (66 ribu ton) dan DI Aceh (46 ribu ton) data diambil dari 2013. Kemungkinan besar saat ini mengalami surplus, atau bisa juga mengecil jika kita melakukan Audit pasar perberasan kita. Seiring alih fungsi lahan dan menurunya statistik keluarga petani.
Kelangkaan dan kenaikan beras ini sangatlah jarang terjadi, serta sepanjang sejarah inilah harga kebutuhan pokok umumnya beras sangat melambung tinggi. Jangan sampai kelangkaan ini dimainkan oleh oknum yang memanfaatkan situasi pada saat krisis pangan ini terjadi, seperti spekulasi pasar yang tak sehat, yang memutuskan mata rantai pemasaran yang hanya menguntungkan pihak-pihak para spekulan dan tidak menguntungkan kedua belah pihak diantara Produsen pangan beras (petani) dan Konsumen. Seperti 18.000 ton, yang masuk dipasar induk cipinang yang tanpa diketahui asalnya dari mana, dan ditemukan juga beras oplosan yang masuk pada kantong yang bermerek, padahal isi berasnya adalah oplosan. Sehingga konsumen juga yang akan dirugikan oleh para spekulan nakal.
Dari masalah inilah pemerintah harus merubah kebijakannya, jika tidak, mata rantai regulasi pasar beras dari produsen (petani) sampai pada tingkat konsumen ini terputus. Sebab kenaikan harga yang tak lazim ini diluar jangkuan kontrol Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas beras, yang tadinya HPP menjadi parameter untuk mematok harga sebagai output’ income yang menguntungkan bagi petani untuk menyesuaikan biaya produksi, yang kebanyakannya saat ini ditanggung penuh oleh petani hingga saat ini sudah semakin besar anggaran untuk biaya produksinya. Seperti buruh tani/Bibit /Pupuk dan biaya angkut hingga pada pemasarannya, tidak sedikit mereka mencari alternaif pasar untuk pendistribusiannya dan lain-lainnya, sehingga Input yang didapat tidak sesuai. Sedangkan Harga Gabah Kering Panen (GKP) belum mencukupi untuk menekan biaya produksi petani kita, sebab yang di tentukan saat ini penetan HPP bersifat tunggal, bukan Multikualitas, HPP multikualitas sebagai nilai tawar yang sehat untuk Industri beras kita.
Disatu sisi para petani dirugikan atas penetapan HPP tunggal yang terjadi saat ini, dilain sisi para spekulan hingga importir nakal merusak pasar, maka mereka untung besar dari pristiwa kelangkaan beras ini, yang memangkas harga pembelian diatas rata-rata yang ditentukan HPP. Jika HPP multikualitas ditetapkan maka ada celah untuk mencegah rusaknya pasar beras kita. Apabila penetapan HPP bersifat Multikualitas bukan hanya saja income bagi petani kita, justru mereka akan mempertahan pangan yang sehat dan menanam padi yang unggul, agar beras yang dipanen akan jauh lebih berkualitas. Maka dengan HPP multikualitas ini adalah cara alternative sebagai solusi kesejahteraan petani kita dan akses pemasaranya.
Yang lebih dramatis lagi, estimasi provinsi suplai sentra beras ini diiringi Setiap tahunnya luas lahan pertanian di Indonesia yang terus menyusut drastis. Kendati demikian, produksi padi masih menjadi utama. Data yang kami himpun, rata-rata kepemilikan lahan pertanian di Indonesia adalah sebesar 458 meter persegi per kapita. Sedangkan, Thailand 5.000 meter persegi per kapita dan Vietnam sebesar 1.200 meter persegi per kapita. Dan yang disayangkan lagi banyaknya degragadasi lahan pertanian membuat kepemilikan lahan pertanian semakin menurun dan semakin sempit atau alih fungsi lahan sehingga hilangnya jumlah keluarga petani sebagai produsen pangan yang kini terus menurun untuk menjaga ketahanan pangan dalam negri terancam semakin hilang secara perlahan.
Masalah ini jika tidak diantisipasi, maka akan terjadi situasi darurat-beras secara bertahap. Bahkan jika tidak secara dini untuk mengatasinya masalah kelangkaan dan kenaikan beras akan meluas dibeberapa daerah di Indonesia. Sangatlah mustahil jika ini terlalu lama terjadi diatas tanah “gemah ripah loh jinawi “ (Kekayaan hasil bumi yang berlimpah), Pemerintah dengan Kementrian Perdagangan yang dipimpin oleh Rahmat Gobel, Kementrian Perdagangan harus melakukan audit bersama Perum BULOG secepatnya, atau operasi pasar secara untuk mengantisipasi kelangkaan dan kenaikan beras ini agar tidak terlalu lama dan berahap pasar beras kita tetap setabil, termasuk beras operasi pasar senilai Rp 7.400 per kg. Sudah hampir langka dipasaran maka disini perlu adanya kerja sama.
Atau masalah ini kurangnya system pengawasan proses tataniaga perberasan kita, sehingga pasar beras dikejutkan pada kelangkaan dan kenaikan beras sampai-sampai pemerintah tak sanggup
mengantisipasinya. Dari sinilah perlu adanya kerja sama diantara pemerintah dan lembaga-lembaga penelitian yang memiliki konsen terhadap pertanian untuk melakukan Audit bersama.