Boedhi Wijardjo[2]
|
Konflik agraria merupakan problem mondial. Artinya bisa ditemui dimanapun ketika kaki kita menginjakkan bumi. Indonesia memiliki sejarah konflik agraria yang sangat panjang yang juga melibatkan stakeholders yang sangat luas yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria. Dengan kelembagaan penyelesaian konflik yang tidak memiliki kapasitas untuk membaca source of problem dari konflik agraria membuat konflik yang timbul tidak mudah untuk diselesaikan. Dengan adanya kenyataaan ini kemudian konflik agraria di cap sebagai unresolved problem. Meskipun istilah unresolved problem dapat dikatakan mengandung kebenaran empirik namun dalam perspektif conflict resolution penggunaan istilah itu untuk konflik agraria tidak tepat. Sebab banyak pengalaman negara lain yang mampu keluar dari kemelut ini, misalnya New Zaeland dengan konsep Wai Tangi Treaty.
Hal yang menarik dan penting untuk dikaji berkenaan dengan pengalaman negara lain dalam menyelesaiakan konflik agraria adalah bagaimana elit politik menyikapinya sebab political will elit politik terbukti sangat berpengaruh dan menjadi pijakan dalam penyelesaian konflik agraria.
Dalam kadar tertentu konflik agraria tidak sekedar menjadi problem kepentingan yang bersifat substantive, namun lebih jauh dari itu. Hal tersebut terjadi karena adanya rentang sudut pandang yang cukup lebar dalam melihat agraria. Di Indonesia, konflik kepentingan yang bersifat substantive saja masih belum menemukan formula yang tepat.[3] Oleh karena itu, selain bekenaan dengan masalah politik will dari elit politik adalah menggali dan menemukan Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam membangun formulasi penyelesaian konflik agraria adalah sebuah langkah penting dan strategis. Sebagai acuan untuk mengembangkan konsep dan kelembagaan yang tepat dalam menyelesaiakan konflik agraria. Tulisan ini tidak mencoba menggali secara mendalam tentang factor-faktor yang berpengaruh tersebut namun akan lebih melihat relevansi -atau setidaknya agumentasi logiknya- dengan solusi yang sedang ditawarkan untuk menjadi menjawaban terhadap bagaimana menyelesaikan konflik agraria, yakni dengan mengembangkan sebuah Peradilan Agraria.
Gagasan untuk mengembangkan peradilan agraria tentu saja pantas disambut dengan antusias karena gagasan itu secara politik bisa diterjemahkan sebagai berikut;
- Bentuk dari implentasi ketaatan konstitusional dari sebuah negara hukum yang demokratis. Dimana model pelembagaan yang tepat untuk menyelesaikan konflik (agraria) adalah melalui sebuah peradilan yang adil, jujur dan independen.
- Ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menjawab problem empirik yang dirasakan oleh masyarakat luas berkenaan dengan konfik agraria.
- Berkembangnya sebuah paradigma baru dalam melihat konflik agraria. Dimana konflik agraria tidak lagi dianggap sebagai masalah yang bersifat ordinary melainkan sudah menjadi masalah yang bersifat extra ordinary. Oleh karena itu, untuk menjawab masalah yang extra ordinary dibutuhkan langkah-langkah yang extra ordinary yakni perlu adanya sebuah peradilan agraria.
Gagasan untuk membentuk peradilan agraria adalah langkah yang tepat dan strategis. Tidak saja untuk kepentingan kekinian dalam menyelesaikan konflik (conflict resolution) namun juga memiliki kepentingan untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria di masa depan (conflict prevention).
Ketepatan peradilan agraria dalam mampu menjawab konflik agraria akan sangat dipengaruhi oleh bacaan historis-sosiologis terhadap konflik agraria dan peradilan itu sendiri. Hal itu sangat dibutuhkan terutama ketika peradilan agraria itu dibentuk dengan paradigma baru dengan argumentasi yang membenarkan dan perlunya respons yang bersifat extra ordinary, karena akan cukup banyak jebakan yang bisa menjerumuskan niat baik (politial will) yang seharusnya menjadi roh dari pengembangan peradilan agraria. Untuk menghindari dari jebakan dan menghindari terjadinya peradilan agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang penting untuk dikritisi, yakni;
- Proses Pengembangan peradilan agraria
- Substansi Strategis yang direspon peradilan agraria;
Berkenaan dengan point pertama , sebenarnya memiliki korelasi dengan problem psikologis dan prosedural. Problem psikologis sebenarnya sangat erat kaitannya dengan akseptabilitas sosial khususnya endangered community. Dimana mereka adalah orang-orang yang penting untuk diajak berkomunikasi mengenai sebuah pilihan yang terbaik dalam menyelesaikan konflik agraria karena mereka adalah orang-orang yang sedang atau potensial terpapar akibat adanya konflik agraria. Problem psikologis ini sangat penting untuk dipecahkan terutama ketika kemudian menghadapkan masyarakat yang masuk dalam endangered community dihadapkan pada sebuah kosa kata peradilan yang berdasarkan pengalaman dalam bersentuhan dengan peradilan selama ini pandangan masyarakat terhadap peradilan relatif tidak begitu baik. Dalam kata lain tingkat kepercayaan masyarakat pada putusan pengadilan masih dirasakan belum memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu, adalah penting memikirkan bagaimana membangun social capital menjadi ankord lahirnya dan operasionalisasi peradilan agraria. Problem prosedural memiliki keterkaitan dengan bagaimana strategi mengembangkan peradilan agraria dengan proses dan tahapan yang bisa diterima (socially aceptable). Artinya bagaimana proses dan tahapan tersebut tidak sekedar ditentukan secara legalistik-positivistik namun proses dan tahapan yang dibangun memang kredibel.
Berkenaan dengan point kedua, tentang substansi yang harus direspons oleh Peradilan Agraria sangat dipengaruhi oleh bagaimana membaca konflik agraria. Idealnya, peradilan agraria mampu menjadi wahana dalam menjawab problem Ketimpangan struktur agraria yang diyakini memberikan kontribusi yang signifikan timbulnya kemiskinan struktural. Ketimpangan struktur agraria memiliki akar yang sangat panjang. Di bawah digambarkan bagaimana ketimpangan struktur agraria berproses; [4]
Masa Kolonial | Masa Orde Lama | Masa Orde baru | |
Ideologi | Kapitalis | (neo) populis | Kapitalis |
Orientasi | Eksploitasi sektor perkebunan | Kemakmuran rakyat sebesar-besarnya | Pengadaan tanah untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi (investasi) |
Strategi | Pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan baru kemudian menuju industri | Landreform (redistribusi), penataan struktur | Pengambilan tanah rakyat. Pembangunan industri tanpa penataan struktur |
Intervensi Negara | Dilakukan melalui pemberian hak erpacht, konsesi dll. | Dilakukan dalam upaya redistribusi tanah (landreform) | Diupayakan kan dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan. Intervensi melalui pemberian ijin lokasi, HGU,HPH, aparat keamanan dll. |
Konflik yang terjadi | Antara rakyat versus penguasa kolonial dan swasta asing | Antara rakyat (pet. Luas) versus rakyat dalam konteks landreform | Antara rakyat dengan pemilik modal dan negara atau pemilik modal yang didukung negara |
Prinsip | Tanah untuk devisa melalui ekspor hasil perkebunan | Tanah untuk petani penggarap | Tanah untuk pertumbuhan ekonomi |
Pandangan/konsep | Tanah sebagai obyek eksploitasi
Periode kolonialisme: perebutan tanah jajahan |
Politis. Tanah dipandang sebagai dasar pembangunan. Tanah tidak boleh dperdagangkan
Periode pasca kemerdekaan: landreform dianut oleh semua negara yang kemudian diikuti model pembangunan industri substitusi impor. |
Teknis administratif, tanah dipandang sebagai satu sisi pembangunan. Tanah sebagai komoditi strategis.
Berkembang ideologi pasar, neo-leberalisme sebagai akibat pengaruh kemajuan NICs. Berkembang pula industri orientasi ekspor |
Fungsi Sosial | Tidak ada | Fungsi sosial penggunaan tanah | Pembebasan tanah |
Pelepasan hak | Konsep domein verklaaring | Pelepasan hak untukkepentingan umum hanya bisa dilakukan melaui pencabutan hak menurut UU No.20 tahun 1961 | Pelepasan hak dapat dilakukan melalui kepmendari, keppres, untuk kepentingan pembangunan. Pembelian secara bebas oleh swasta dengan dukungan ijin lokasi. Pengkliman tanah negara/domain verklaaring |
UUPA | UU Agraria 1870 | UUPA 1960 dijadikan kebijakan pertanah (konsisten) | Terjadi inkonsistensi dan ambivalensi kebijakan |
Institusi | Pemerintah kolonial | Departemen agraria mengurus semua masalah agraria | BPN hanya mengurusi soal tanah saja. |
Substansi tabel di atas menggambarkan bagaimana ketimpangan struktur agraria terjadi dan peran negara (terutama pada jaman kolonial dan orde baru) dalam menciptakan ketimpangan struktur agraria. Dengan demikian sudah selayaknya peradilan agraria yang sedang digagas harus menempatkan ketimpangan struktur agraria sebagai prioritas. Sehingga peran peradilan agraria sungguh-sungguh menyentuh source of problem konflik agraria yang terjadi. Dalam mengemban tugas penting itu, memang dibutuhkan sebuah kesepakatan yang intinya menutup ketidakadilan masa lalu (yang terus berjalan hingga saat ini) yang menjadi cikal-bakal terjadinya ketimpangan struktur agraria. Kesepatakan yang dilakukan adalah titik jeda politik bagaimana elit politik menyikapi konflik agraria. Dengan berbasis pada kesepakatan itu peradilan agraria mulai bekerja pada tataran yang lebih operasional. Sekali lagi, tanpa menyentuh problem ketimpangan struktur agraria maka peradilan agraria akan menjadi peradilan yang konvensional, yang hanya mengejar aspek kepastian hukum yang formalistik tanpa menyentuh substansi dasar dari konflik agraria. Pertanyaan kemudian adalah peradilan agraria sebenarnya untuk siapa?
***
[1] Makalah dipresentasi dalam Workshop diskusi public bersama parlemen Rancangan UU tentang Peradilan Keagrarian dan Penyelesaian Konflik Pertanahan di Indonesia, Jakarta 30 April 2010.
[2] Penulis adalah board Current Asia
[3] Selain kepentingan yang bersifat substantive ada kepentingan lain yang berkenaan dengan psikologi dan procedural.
[4] Ending Suhendar dan Ifdhal Kasim, Tanah sebagai Komoditas,Elsam, Jakarta, 1996.