Pada saat ini, sekitar 3 miliar penduduk dunia tinggal di daerah pedesaan (Bank Dunia, 2007). Kebanyakan dari penduduk dunia itu berasal dari keluarga yang melakukan kegiatan pertanian, disebut juga pertanian keluarga (Family Farming), di mana baik suami dan/atau istri secara bersama-sama dengan anggota rumahtangga lainnya terlibat secara langsung dalam proses produksi dan kegiatan lain di pertanian, dan di mana kegiatan pertanian/peternakan/perikanan/kehutanan itu menjadi sumber utama mata pencaharian keluarga. Seringkali keluarga-keluarga itu terbatas aksesnya ke lahan dan modal lain serta teknologi yang diperlukan untuk menjadikan pertanian sebagai upaya yang berarti. Saat ini sekitar 1,5 miliar perempuan dan laki-laki petani hidup dari 404 juta lahan pertanian kecil, kurang dari 2 hektar (IAASTD, 2009); 410 juta orang mengumpulkan hasil hutan dan padang rumput (ETC, 2009), sementara 100-200 juta menjadi penggembala (CBD, 2010), dan 100 juta manusia adalah nelayan kecil (Kura dkk,2004), serta 370 juta lainnya adalah kelompok masyarakat asli (IFAD, 2009) dengan sebagian besar bertani. Selain itu, 800 juta manusia bertanam di kebun-kebun di perkotaan (World Watch Institute,2007).
Pertanian keluarga menghadirkan sebuah nilai yang strategis, karena pertanian keluarga memiliki fungsi-fungsi ekonomis, sosial, budaya, lingkungan, dan kewilayahan (teritori). Baik perempuan maupun laki-laki yang terlibat dalam pertanian keluarga menghasilkan 70% dari pangan dunia. Pertanian keluarga adalah basis produksi pangan yang berkelanjutan, upaya yang ditujukan untuk mencapai ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, pengelolaan lingkungan lahan dan keanekaragaman hayatinya, serta menjadi basis pelestarian warisan sosial-budaya yang penting dari bangsa-bangsa dan komunitas pedesaan.
Masalah dan Tantangan yang Dihadapi Pertanian Keluarga
Petani keluarga di seluruh dunia sangat dipengaruhi oleh krisis pangan yang saling berkaitan dengan krisis keuangan, bahan bakar, dan perubahan iklim. Banyak kebijakan untuk menjawab krisis tersebut yang tidak menguntungkan dan tidak tanggap terhadap keadaan terkini petani keluarga. Kebijakan-kebijakan itu tidak dapat mengatasi persoalan yang didominasi model-model ekonomi dan banyak kebijakan pemerintah dan organisasi antar pemerintah serta lembaga keuangan internasional yang umumnya mengabaikan atau bahkan merugikan pertanian keluarga. Pencaplokan lahan yang marak terjadi hingga kini menjadi ancaman terbesar bagi pertanian keluarga dan produksi pangan secara berkelanjutan. Banyak pertanian keluarga, termasuk petani kecil, masyarakat asli, dan penggembala, terampas asetnya melalui pengambilalihan (akuisisi) lahan-lahan mereka untuk dijadikan perkebunan tanaman ekspor untuk industri dan tanaman pangan. Pertanian keluarga seringkali memiliki akses dan kendali ke pasar yang sangat terbatas, termasuk informasi pasar, serta memiliki daya tawar yang lemah atas harga-harga produk mereka. Bahkan pada beberapa tahun belakangan ini, gejolak kenaikan harga pangan makin memperburuk keadaan.
Perempuan petani memegang peran penting dalam produksi dan penyediaan pangan bagi keluarga dan komunitas mereka. Mereka menjaga lingkungan dan tradisi, serta menerapkan teknik-teknik pertanian yang rendah input dan input yang efisien. Para perempuan adalah pemimpin dalam upaya-upaya pelestarian alam dan sumberdaya genetika, mulai dari seleksi benih untuk ditanam, panen, penyimpanan, dan prosesnya. Namun, sumbangsih perempuan sering tidak diperhitungkan, dan kebanyakan kebijakan dan program pertanian tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan petani. Perempuan mengalami keterbatasan akses dan kendali atas lahan, akses pasar, pendidikan dan suara politik mereka dalam organisasi perempuan serta badan-badan pemerintah. Mereka menghadapi diskriminasi karena jenis kelamin dalam rumah tangga dan masyarakat di tingkat kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor ini mengurangi kemampuan perempuan untuk menyumbang dan mengambil manfaat dari pembangunan pertanian serta meningkatkan kerentanan mereka.
Para generasi muda kita tidak punya dukungan ekonomi dan pendidikan yang dapat memotivasi mereka agar tinggal di desa, sehingga memilih pindah dari desa tanpa mampu menyadari keinginan mereka untuk melanjutkan hidup, menciptakan dan menghasilkan kehidupan di lingkungan mereka sendiri (disarikan dari Final Declaration of Family Farming World Conference, Feeding the World, Caring for the Earth, Bilbao, Spanyol, Oktober 5-7, 2011).
***
Sehubungan dengan latar belakang pemikiran tersebut dalam Rapimnas ke-10 di Jakarta beberapa waktu lalu juga dilangsungkan Renstra (perencanaan strategis) organisasi perempuan API yang sedianya akan membentuk struktur dan landasan kerjanya. Organisasi yang disepakati bernama Aliansi Perempuan Petani Indonesia (APPI) ini akan bersifat semi otonom dan berada pada garda terdepan dalam upaya-upaya API untuk mendorong pelibatan petani secara lebih aktif dalam pengembangan ekonomi keluarga petani.
Melalui Renstra diharapkan dapat dicapai tujuan-tujuan utama kegiatan yang meliputi, 1. Pengumpulan informasi terkini tentang kondisi di beberapa kelompok perempuan (APPI) yang hadir (persoalan/kendala atau tantangan dan peluang). 2. Pemetaan sederhana tentang kebutuhan kelompok perempuan yang hadir; dan perencanaan APPI untuk tahun 2014. 3.Merumuskan Visi dan misi APPI, 4. Penyusunan struktur APPI untuk tahun 2014.
Hadir dalam pertemuan ini 16 orang dari 9 serikat tani serta beberapa staff seknas dan ahli. Sebelumnya, sehari menjelang Rapimnas diselenggarakan pertemuan kecil di kantor seknas API untuk mendiskusikan tentang pertanian keluarga. hadir sebagai nara sumber dalam pertemuan tersebut Ibu Bibong Widyarti (Rumah Organik Depok). Dalam pengantarnya Bibong mempertanyakan posisi petani kecil yang sebenarnya bisa lebih memiliki potensi ketahanan pangan, tapi justru kesulitan untuk mewujudkan kesejahteraan untuk diri mereka sendiri.
“Sebagian besar konsumen berada di perkotaan. Mereka sebenarnya adalah kelompok yang paling rentan dalam ketahanan pangan, karena konsumen di perkotaan ini tidak memiliki akses ke produk pertanian, mereka juga tidak dapat memproduksi komoditas pertanian. Misalnya, konsumen hanya membeli pangan dari pasar swalayan dalam jumlah kecil, untuk keperluan keluarga. Dari sini terlihat jelas kelemahan mereka, hanya sebatas itu ketahanan mereka dalam pangan. Yang kuat posisinya dalam ketahanan pangan (food security) sebenarnya adalah produsen (petani kecil), seperti ibu-ibu petani anggota API ini. Namun kenapa petani kecil ini belum juga meningkat kesejahteraannya?”, ungkap Bibong.
Bibong juga menawarkan Rencana Tindak lanjut kepada peserta. Dia (Rumah Organik) mengharapkan antara pihaknya dan API dapat bekerja sama secara nyata dalam waktu yang tidak terlalu lama, mengingat berkembangnya keinginan konsumen untuk memperoleh informasi komoditas/produk, tempat diproduksi dan kapasitas produksinya (semacam pemetaan per komoditas di kalangan anggota API). Rumah Organik akan membantu menyebarluaskan potensi anggota API kepada mitra konsumen lainnya.
Selain itu dia juga memberi pandangan tentang Pasar alternatif seperti car free day yang ada di Jakarta setiap hari Minggu untuk menggelar produk API yang praktis, mengingat kondisi para warga yang berolah raga di jalan pada saat car free day menginginkan produk yang praktis, mudah dibawa. API perlu menyediakan informasinya (misalnya melalui brosur).
Selanjutnya dalam diskusi singkat dengan peserta, Bu Kasih (STKS Sumedang) juga berbagi pengalamannya dalam memproduksi tape singkong mentega. Ibu-ibu di kampung membuat tape singkong sebagai u
paya cepat untuk mendapatkan uang kontan, seperti keperluan sekolah anak. Dengan memiliki tanaman singkong (jenis tertentu yang bagus untuk dijadikan tape), lalu difermentasi 2 hari saja sudah dapat menghasilkan tape yang berkualitas. Ibu-ibu bisa meminjam uang dahulu, lalu dilunasi setelah tape singkongnya jadi dan terjual. Ini salah satu terobosan untuk mendapatkan uang kontan secara lebih cepat.
Melalui diskusinya dengan Maryati (STJ Jembrana, Bali) kedepan Bibong menyampaikan keinginannya untuk mengunjungi KWT (Kelompok Wanita Tani) di Jembrana. Dia ingin mengajak beberapa crew televisi untuk pendokumentasikan pembuatan gula kelapa semut di sana. [Ikank – Dzi]