Kepolisian Resort Banggai Sulawesi Tengah yang kembali melakukan kriminalisasi terhadap para petani Bohotokong. Pihak Polres Banggai telah melakukan pemanggilan dan penangkapan kepada 3 orang petani, yakni Yamin Musa (pada 02 November 2013), Hima Ali (pada 16 Januari 2014) dan Arham Busara (Surat panggilan tertanggal 3 Februari 2014).
Menyikapi kejadian tersebut Seknas API telah mendatangi Komisi III DPR RI dan bertemu dengan Eva K. Sundari dari Fraksi PDIP. Pada kesempatan tersebut Seknas menyampaikan kronologi dan perkembangan advokasi petani Bohotokong. Setelah melakukan diskusi kurang lebih selama satu jam, Eva segera memerintahkan anak buahnya untuk membuat draft surat untuk dilayangkan ke Kapolres Banggai dengan tembusan Mabes Polri. Isi dari surat tersebut, selain mengungkapkan pokok upaya kriminalisasi juga mempertanyakan sikap kepolisian Banggai yang cenderung melakukan pembiaran atas prilaku aparat yang melakukan intimidasi pada petani dan cenderung melindungi kepentingan perusahaan. Dalam kaitan ini API juga melaporkan tindakan-tindakan pihak kepolisian tersebut ke Kompolnas untuk tujuan mengeliminir terjadinya pelanggaran-pelanggaran tugas dan wewenang aparat kepolisian.
Selain upaya ke DPR, API juga telah mengadukan hal tersebut pada Komnas HAM dan meminta dilakukannya investigasi terkait indikasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di desa Bohotokong yang berdampak pada hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat, khususnya para petani.
Berdasarkan catatan yang ada, masalah kriminalisasi petani Bohotokong tidak bisa dilepaskan dari problem utamanya, yaitu sengketa tanah antara masyarakat dengan salah satu pengusaha lokal pemegang HGU. Kasus sengketa agraria antara petani Bahotokong melawan pengusaha (Teo Nayoan) di Desa Bohotokong Kec. Bunta Kab. Banggai (600km dari kota Palu), telah berlangsung sejak tahun 1982. Peristiwa in bermula dari klaim Teo Nayoan pada agustus 1989 atas tanah bekas onderneming yang sudah dikelola oleh petani sejak tahun 1982. Klaim Nayoan hanya berbekal surat kuasa dibawah tangan dari ahli waris tanah bekas onderneming tersebut, padahal dalam Kepres di lahan bekas perkebunan TK.Mandagi dan Rudi Rahardja yang HGUnya sudah berakhir pada tanggal 24 september 1980. Pendudukan petani dilahan tersebut sepenuhnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Sejak 1982 terhitung sebanyak 4 kali petani mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat atas tanah bekas-onderneming tersebut dan BPN berjanji akan menerbitkannya. Tetapi, sampai sekarang janji tersebut tidak pernah ditepati oleh Pihak BPN.
Tahun 1997 secara mengejutkan BPN mengeluarkan sertifikat HGU kepada pengusaha (Djoni Nayoan) atas lahan bekas onderneming yang sudah menjadi kebun-kebun masyarakat. Fase ini menandai babakan baru dalam sejarah perjuangan petani Bohotokong.
Sejak terbitnya HGU, petani selalu dikriminalisasi dan diintimidasi. Berdasarkan catatan kami, kriminalisasi telah berlangsung sebanyak puluhan kali. Hal ini meliputi pengancaman, penahanan warga, maupun upaya-upaya menuntut warga ke jalur hukum. Upaya ini terus berlangsung hingga sekarang meskipun para petani telah dinyatakan tidak bersalah hingga di tingkat kasasi. [] Lodzi