Jum’at 04 Maret 2011
Jakarta, Kompas – Pelaksanaan program diversifikasi pangan tidak bisa lagi mengandalkan cara lama melalui pendekatan proyek karena terbukti gagal dalam 40 tahun ini. Diversifikasi pangan saatnya didekati dari aspek bisnis dengan melibatkan dunia usaha.
Demikian poin yang mengemuka dalam seminar pangan bertema Solusi Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Pangan, Sabtu (5/3). Seminar itu diselenggarakan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat di sela-sela Agrinex Expo 2011 di Jakarta Convention Center, Jakarta.
Tampil sebagai pembicara, antara lain, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Dahrul Syah, Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Tjuk Eko Hari Basuki, dan Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Nusa Tenggara Barat Husnanidiaty Nurdin. Seminar tidak banyak dihadiri kalangan dunia usaha, sebagian besar birokrat.
Dalam seminar terungkap bahwa ketahanan pangan nasional saat ini rentan karena konsumsi pangan masyarakat Indonesia, terutama karbohidrat, bertumpu pada beras dan bahan pangan impor seperti gandum. Di sisi lain, produksi beras nasional dan gandum dunia juga menghadapi tantangan serius perubahan iklim.
Menteri Pertanian Suswono dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Kepala BKP Kemtan Achmad Suryana menyatakan, produksi pangan saat ini menghadapi tantangan serius perubahan iklim. Produksi serealia dunia tahun 2010 turun dari 2.280 juta ton tahun 2009 menjadi 2.238 juta ton. Begitu pula produksi gandum. Situasi ini diperburuk dengan sikap negara produsen yang cenderung mengamankan produksinya sehingga kita perlu mengantisipasi kenaikan harga pangan dunia yang langsung atau tidak dipengaruhi harga dunia, ujarnya.
Gejolak pangan
Gejolak harga pangan dunia harus diwaspadai karena akan berdampak langsung pada masyarakat miskin dan rawan pangan yang berada pada situasi paling rentan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan harus terus diupayakan.
Dahrul Syah menyatakan, diversifikasi pangan jangan sekadar menurunkan konsumsi beras semata, tetapi bagaimana membuat konsumsi pangan masyarakat semakin sehat. Hal itu dilakukan dengan pola konsumsi pangan yang tidak semata karbohidrat, tetapi protein dan vitamin dalam keseimbangan.
Saat ini, konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia mencapai 139,15 kilogram per tahun. Jauh dari konsumsi beras rata-rata dunia 60 kilogram. Tingginya konsumsi pangan, terutama beras tak lain akibat kegagalan program diversifikasi.
Sejak 40 tahun lalu, kata Dahrul, program diversifikasi selalu mengandalkan proyek. Akibatnya tidak berjalan. Masyarakat tahu program diversifikasi, tetapi tidak mau mengikuti program-program yang ada.
Oleh karena itu, harus ada strategi lain, yakni dengan mengajak masyarakat mengonsumsi pangan yang lebih beragam secara sukarela dan karena merupakan sebuah pilihan yang menguntungkan.
Caranya dengan melibatkan dunia usaha dalam penyediaan pangan lain yang beragam, praktis dan tersedia kapan saja untuk dikonsumsi, menarik minat, murah dan menguntungkan siapa saja yang terlibat dalam daur produk itu.
Ekonomi bisnis bisa masuk di sini. Produknya bisa dari beras, umbin-umbian, dan sebagainya. Produk lokal yang dipakai harus unggul untuk dikonsumsi dan mampu menggerakkan ekonomi lokal. Ini kombinasi yang sangat hebat. Pola proyek sudah enggak zaman, harus ditinggal, harus didekati secara bisnis yang menguntungkan semua orang, kata Dahrul.
Diversifikasi pangan juga harus melibatkan masyarakat lokal. Kalau belum mampu, ditahan. Kalau dipaksakan nanti justru menjadi bencana. (MAS)
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/07/0439428/tinggalkan.pendekatan.proyek.diversifikasi.pangan
/ Semoga bukan cuma prototype dan didajikan sebagai potensi bisnis produksi massal. Banyak sekali ide mahasiswa Indonesia bermunculan di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional. Namun sayang sekali seribu kali sayang, ajang tersebut sepertinay sudah disalahgunakan menjadi ajang pamer universitas di mana keberlanjutan kegiatan tidak diperhatikan.Karya seperti ini sangat bagus sekali jika didajikan sebagai produk unggulan sebuah usaha produksi makanan. Jika saja ada mi instan satu ini bisa bernilai lebih sehat daripada mi instan kebanyakan. Terutama jika mi instan satu ini memiliki kandungan MSG yang minimal, sepertinya dapat menjadi pilihan alternatif masyarakat untuk mengkonsumsi mi instan yang lebih sehat.*saya bingung mau bilang ini kemana, akhirnya saya memberi komen berpanjang2 ria saja di situs ini. Semoga didengar oleh seseorang #KaryaAnakBangsa